JAKARTA – Presiden AS Donald Trump sepakat menurunkan tarif terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19%. Besaran tarif tersebut bahkan menjadi yang terendah dibanding negara-negara lain di Asia.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, mengatakan, pencapaian tarif 19% ini menjadi salah satu yang terendah di kawasan Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam yang hanya berhasil menurunkan tarif menjadi 20%.
“Sekarang, pemerintah kita dari tarif awal itu turun ke 19%, jadi lebih rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia. Jadi kalau sebuah rumah kita bikin pagar setinggi awalnya 32, setelah bernegosiasi pagarnya bisa diturunkan jadi 19. Tentu ini kemajuan yang tidak bisa dibilang kecil, ini bukan keberhasilan kecil,” jelasnya, Rabu (16/7/2025).
Hasan juga menggarisbawahi bahwa keberhasilan ini merupakan hasil kerja keras tim negosiasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian, serta intervensi langsung dari Presiden Prabowo.
“Untuk detailnya apa saja, nanti saya minta teman-teman bersabar menunggu kepulangan Presiden, karena Presiden yang akan mengumumkan detailnya nanti setibanya di Tanah Air. Insyaallah, sore ini Presiden akan tiba di Tanah Air,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mencapai kesepakatan dengan Presiden AS Donald Trump terkait penurunan tarif impor barang asal Indonesia ke Amerika Serikat, dari usulan 32% menjadi 19%. Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia telah berkomitmen untuk membeli produk energi senilai USD15 miliar, produk pertanian senilai USD4,5 miliar, serta 50 unit pesawat Boeing terbaru.
Menanggapi kabar mengejutkan ini, Research Director di Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi, menilai pentingnya melihat dinamika ini dalam konteks yang lebih luas.
“Tarif ala Trump lebih merupakan panggung politik ketimbang kebijakan jangka panjang yang serius. Pasar keuangan global sudah cukup terbiasa dengan gaya berpolitik teatrikal ini,” ujarnya.
Gundy mencatat, setelah Liberation Day di April lalu, volatilitas pasar global melonjak, dengan indeks VIX menyentuh level tertingginya sejak pandemi. Namun pada Juli, reaksi pasar cenderung mereda.
“Investor cenderung melihat ancaman tarif sebagai bagian dari pola lama: ancaman di depan layar, negosiasi di balik layar," katanya.
(Feby Novalius)