JAKARTA – Pemerintah mengalihkan dana kas negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Penggunaan dana tersebut perlu diawasi secara ketat agar tidak mengalir ke proyek energi fosil dan memicu risiko kredit macet bagi perbankan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyoroti potensi penggunaan dana Rp200 triliun tersebut untuk membiayai pinjaman sektor energi fosil, alih-alih untuk pendanaan iklim dan pengembangan energi terbarukan.
"Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekadar diserahkan ke bank Himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset) dan kredit macet," kata Bhima dalam risetnya, Senin (15/9/2025).
Untuk memastikan dana pemerintah selaras dengan misi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, Bhima menyarankan agar Menteri Keuangan membuat regulasi spesifik, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Bhima menjelaskan bahwa sektor energi terbarukan memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja, dengan proyeksi 19,4 juta green jobs dalam 10 tahun ke depan.
Namun, ia menyayangkan porsi penyaluran kredit Himbara ke sektor ini masih kurang dari 1 persen. Menurutnya, pengalihan dana kas pemerintah ini adalah momentum tepat untuk beralih ke sektor ekonomi yang lebih prospektif.
Policy Strategist CERAH, Dwi Wulan, sepakat bahwa pemanfaatan dana tersebut seharusnya diarahkan ke proyek-proyek berkelanjutan, terutama energi terbarukan. Ia memaparkan bahwa dari potensi energi terbarukan Indonesia yang mencapai 3.687 gigawatt (GW), baru sekitar 13 GW yang dimanfaatkan.
"Dengan memperkuat porsi pendanaan untuk energi bersih, pembangunan ekonomi melalui industrialisasi bisa didukung secara stabil dan berbiaya kompetitif," ujar Dwi Wulan.