JAKARTA - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menilai standar kualitas hidup layak (KLH) yang ditetapkan pengusaha tidak disesuaikan dengan kondisi saat ini. Hal ini membuat standar kualitas hidup buruh di Indonesia rendah.
"Pengusaha selalu menggunakan UU nomor 13 tahun 2003 dalam menetapkan standar kualitas hidup layak dan gaji minimum itu tidak layak. Komponen yang digunakan untuk menyusun KLH ini misalnya masih menggunakan lampu minyak, atau minyak tanah, padahal mereka sekarang pakai kompor gas," ujar Ketua Umum SPSI Rekson Silaban dalam diskusi yang diselenggarakan Sindo Hot Topics, di Cafe Oh Lala, Jakarta, Senin (28/11/2011).
Karena standar kulaitas hidup yang tidak layak ini, menurut Rekso, membuat buruh terus menuntut kenaikan upah. Seperti di Batam, lanjut Rekson, upah buruh di sana sangat tragis di mana buruh yang sudah bekerja puluhan tahun masih digaji dengan standar upah minimum.
"Upah minimum itu perlu,dan itu selain dengan standar hidup layak," lanjutnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Susmita menyatakan, standar hidup layak yang ditetapkan Apindo sudah menggunakan 46 kriteria yang ditetapkan Kemenakertrans. KLH ini, menurutnya juga telah direvisi per tahunnya.
"Buruh formal di Indonesia itu ada 33 juta orang, ini hanya sekira sembilan jutanya yang ikut Jamsostek. Ini masalah juga bagi Apindo untuk menentukan standar hidup layak. Intinya kita sepakat dengan revisi UU nomor 13 no 2003, kita enggak keberatan juga ada kenaikan upah bagi buruh, tetapi jangan mendadak," tambahnya.