BOGOR - Adanya wacana menyatukan zona waktu di Indonesia menjadi satu rupanya telah lama dibahas oleh pemerintah. Penerapan zona satu waktu tersebut sudah ada sejak 2004.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Radjasa menjelaskan, kajian terkait penetapan zona satu waktu sudah lama dibahas, bahkan saat dirinya masih menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek).
Hatta sendiri menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong pada 2001-2004. Oleh karena itu, meminta persoalan rencana penetapan zona satu waktu tidak dipersulit dan diperlebar.
"Semua itu ada plus minusnya, tidak semuanya bagus saja, ada pro kontranya, dibahas, tapi enggak usah keluarkan energi banyak, berpolemik yang tidak penting, cari positifnya yang terbanyak untuk bangsa ini apa, silahkan dikaji," ujar Hatta di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/3/2012).
Menurut Hatta, banyak hal positif bila hal itu dilaksanakan. "Cukup baik karena kita lebih produktif, lebih hewat waktu, menghemat energi, sistem perdagangan kita, pasar modal dan semuanya, transportasi lebih lancar," tegas dia.
Karenannya, dia meminta agar wacana tersebut ditanggapi. "Tapi intinya ini sesuatu yang sangat baik," papar politikus Partai Amanat Nasional ini.
Terkait acuan waktu yang akan digunakan, Hatta menyerahkan pada yang berwenang untuk menentukan. "Ada yang bilang du times zone, tengahnya dengan baratnya jadi satu, timurya bawa ke tengah. Ada juga yang bilang satu time zone, ya silahkan saja dibahas," tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, penerapan zona satu waktu diyakini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 20 persen. Pembagian waktu (WIB, WIT, WITA) di Indonesia, disinyalir salah satu faktor penghambat peningkatan produktivitas berbagai sektor terutama ekonomi dan bisnis.
Kepala Divisi Humas dan Promosi Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) Edib Muslim menjelaskan, peningkatan tersebut karena pertambahan angkatan kerja dari 190 juta orang menjadi 240 orang yang akan melakukan pekerjaannya secara bersama-sama.
Dalam berbagai transaksi bisnis, Indonesia sering kalah bersaing. Misalnya jadwal terbang Garuda yang selalu satu jam lebih lambat dari maskapai lain. Hal serupa juga dirasakan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menurutnya kalah satu jam dengan bursa efek di Hong Kong dan Shanghai.
(Martin Bagya Kertiyasa)