Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Akuisisi Bank Danamon

Koran SI , Jurnalis-Senin, 09 April 2012 |07:40 WIB
Akuisisi Bank Danamon
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
A
A
A

PEKAN lalu sebuah berita mengejutkan muncul di banyak media, yaitu akuisisi yang dilakukan DBS Group Holdings Ltd (DBS) Singapura terhadap Bank Danamon.

Bank Danamon merupakan bank swasta yang dimiliki Temasek, lembaga investasi Pemerintah Singapura (sovereign wealth fund) yang ditangani divisi keuangannya, yaitu Fullerton Financial Holdings Pte Ltd melalui anak perusahaan mereka, Asia Financial Indonesia Ltd. Akuisisi tersebut melibatkan nilai yang cukup besar,Rp45,2 triliun.Saham Bank Danamon disepakati dilepas pada harga Rp7.000 per saham,jauh di atas harga pasar bank tersebut pada saat penutupan hari sebelumnya.

Jumlah itu merupakan harga yang dikeluarkan Bank DBS Singapura untuk membeli 68,37 persen kepemilikan saham Bank Danamon oleh Fullerton. DBS (Development Bank of Singapore) adalah sebuah bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki Pemerintah Singapura melalui lembaga investasi mereka, Temasek. Jadi pada hakikatnya transaksi yang dilakukan itu adalah jual beli saham di antara dua institusi bersaudara (sister companies) dari Temasek itu sendiri.

Bedanya yang penting, Fullerton Financial Holding, yang semula merupakan pemilik Bank Danamon,merupakan lembaga investasi. Fungsi divisi itu mengatur portofolio kepemilikan saham mereka di berbagai dunia usaha, khususnya lembaga keuangan di berbagai negara. Sementara Bank DBS, seperti terlihat dari namanya, adalah bank. Dengan demikian dari sisi regulator, yaitu Bank Indonesia, sebetulnya lebih menguntungkan kepemilikan Bank Danamon tersebut berada pada Bank DBS dibandingkan kepemilikan sebelumnya.

Urutan preferensinya untuk pengendalian bank di Indonesia memang lebih tinggi jika itu dilakukan oleh bank dibandingkan dengan jika dimiliki oleh lembaga bukan bank. Untuk ukuran Asean, DBS adalah bank terbesar jika diukur dari besaran aset yang dimiliki. Pada hakikatnya tiga bank terbesar di Asean memang didominasi bank-bank Singapura dengan urutan DBS, OCBC, dan UOB.

Kita mengetahui, Bank OCBC lama sebelumnya sudah mengakuisisi bank swasta Indonesia, yaitu Bank NISP, sehingga kemudian dengan merger yang dilakukan oleh anak perusahaan mereka di Indonesia, yaitu Bank OCBC Indonesia, keduanya menjadi Bank OCBC NISP. Bank lain yang melakukan hal yang sama Bank UOB yang mengakuisisi Bank Buana.

Dengan adanya single presence policy, Bank UOB Indonesia, yang sudah berdiri lama sebelumnya,akhirnya merger dengan Bank Buana yang telah mereka akuisisi sehingga menjadi Bank UOB Buana. Dengan melihat perkembangan proses akuisisi yang dilakukan bank-bank Singapura itu, bisa diperkirakan, Bank DBS Indonesia, yang dewasa ini sudah cukup lama berdiri di Indonesia, suatu saat nanti akan melebur menjadi satu dengan Bank Danamon yang baru saja mereka akuisisi sehingga nantinya akan menjadi Bank DBS Danamon.

Bank negara tetangga lainnya, yaitu Malaysia,yang sudah melakukan hal yang sama adalah Bank CIMB yang mengakuisisi Bank Niaga. Kita mengetahui, dewasa ini bank tersebut telah bermetamorfosis menjadi CIMB Niaga yang merupakan sebuah bank yang sangat dinamis, apalagi setelah melakukan merger lebih lanjut dengan Bank Lippo. Sementara itu kita melihat,bank terbesar di Malaysia, yang merupakan bank terbesar keempat di Asean, yaitu Maybank, telah pula mengakuisisi BII yang semula dimiliki konsorsium bank dari Singapura dan Korea.

Dewasa ini kita melihat eksistensi BII maupun Maybank Indonesia. Tapi dengan adanya single presence policy, kita mengetahui, merger diantara kedua bank tersebut hanyalah tinggal masalah waktu saja. Sebentar lagi kita akan melihat bank bernama Bank Maybank BII. Dengan melihat perkembangan tersebut, akuisisi yang dilakukan Bank DBS pada hakikatnya merupakan suatu proses natural yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir karena koridor pengembangan bank kita memang dilakukan sedemikian.

Bahkan akuisisi ini merupakan suatu langkah maju menuju konsolidasi perbankan lebih lanjut yang merupakan kebijakan Bank Indonesia. Rezim perbankan Indonesia adalah rezim yang terbuka di mana kepemilikan bank oleh asing bahkan bisa mencapai 99 persen. Regulasi semacam ini merupakan konsekuensi dari perekonomian Indonesia pascakrisis di mana pada saat tersebut penumpukan modal yang dilakukan pemerintah maupun pengusaha Indonesia masih sangat terbatas.

Pemerintah bahkan berada pada posisi sangat haus likuiditas karena beban utang maupun defisit mereka yang sangat besar. Oleh karena itu pada masa itulah kepemilikan bank akhirnya dimungkinkan bergeser kepada asing dalam skala cukup besar. Banyak pihak mengatakan, kepemilikan asing terhadap perbankan di Indonesia mendekati separuh dari perbankan di Indonesia.

Akuisisi Bank Danamon oleh Bank DBS tersebut sama sekali tidak mengubah pangsa kepemilikan asing tersebut karena yang terjadi hanya perpindahan tangan dari Fullerton Financial Holdings Pte Ltd ke Bank DBS yang keduanya adalah lembaga di Singapura. Dalam perhitungan kepemilikan asing yang banyak dipergunakan tersebut masih meliputi Bank BCA, yang dewasa ini sepenuhnya sudah merupakan bank lokal karena kepemilikan asing sudah hilang sama sekali dari bank tersebut.

Jika dikurangi BCA,kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia hanya sekitar sepertiganya. Yang menjadi permasalahan yang banyak diributkan politisi kita adalah betapa mudahnya bank-bank yang dimiliki asing untuk terus berkembang di Indonesia, sementara merupakan suatu hal yang sangat sulit bagi bank-bank Indonesia untuk bisa masuk ke sistem perbankan di Singapura dan Malaysia.

Di sini ada permasalahan resiprokalitas. Malaysia sangat tertutup bagi masuknya perbankan dari negara lain ke wilayah mereka meskipun bagi bank-bank yang sudah bercokol di sana, terutama sejak zaman kolonial Inggris, memiliki kesempatan berkembang sebagaimana bank-bank lokal mereka. Suatu pengalaman adalah keinginan masuknya Bank Mandiri ke Malaysia.Ternyata persyaratan administrasi maupun permodalan membuat izin masuk ke negara tersebut menjadi prohibitif. Kelihatannya terbuka, padahal jika akan dilaksanakan ternyata memerlukan energi luar biasa.

Bahkan unit layanan kiriman uang yang ditujukan untuk tenaga kerja Indonesia di negara yang saat ini sudah berdiri pun mengalami hambatan luar biasa. Mereka tidak bisa dengan bebas menambah kantor cabangnya. Bahkan untuk memindahkan kantor cabangnya pun hampir mustahil bisa dilakukan. Saya tidak akan terkejut jika tidak lama lagi ada kantor layanan remittance semacam itu yang akan menutup usahanya.

Apalagi jika bank bank Indonesia masuk ke negara tersebut, bisa diperkirakan, pasti hidupnya akan menjadi demikian sulit. Dengan semangat persaudaraan ASEAN maupun proses terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015, kiranya resiprokalitas semacam itu perlu menjadi perhatian pihak otoritas perbankan di Singapura dan Malaysia.

Jika tidak,saya yakin desakan politisi terhadap Bank Indonesia untuk mengencangkan perizinan bagi ekspansi bank-bank yang berasal dari negara tetangga tersebut juga sangat mungkin akan terjadi. Jika akhirnya menjadi demikian, ini adalah sebuah langkah mundur bukan saja bagi Indonesia, tetapi juga bagi terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015.

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi


(Widi Agustian)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement