Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Aturan Kepemilikan Bank Nasional Setengah Hati

Koran SI , Jurnalis-Rabu, 27 Juni 2012 |10:22 WIB
Aturan Kepemilikan Bank Nasional Setengah Hati
Ilustrasi. (Foto: Koran SI)
A
A
A

Pada 4 Juni 2012, Bank Indonesia (BI) menyampaikan garis besar aturan kepemilikan bank nasional yang bakal terbit pada 27 Juni 2012. Namun, agaknya aturan tersebut tidak akan berlaku surut (retroaktif).

Kalau terwujud kelak, kebijakan BI soal kepemilikan bank nasional menjadi kebijakan setengah hati. Bagaimana seharusnya? Boleh disebut bahwa industri perbankan nasional paling liberal dalam mengatur kepemilikan mayoritas saham bank nasional oleh investor asing.

Kisah itu mulai ketika Indonesia terlindas krisis ekonomi global pada 1997-1988. Akibatnya, permodalan bank nasional luluh lantak. Ambrol. Untuk mengerek modal perbankan nasional, pemerintah mengundang investor asing melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 29/1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.

Pasal 3 PP itu menyatakan jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya 99 persen. Sejak itu, arus kepemilikan mayoritas saham bank nasional oleh investor asing begitu deras mengalir.

Saat ini terdapat tidak kurang dari 17 bank nasional yang mayoritas saham mereka dikuasai investor asing antara lain dari Singapura, Malaysia, Inggris, Australia, India, China, Korea Selatan, dan Qatar. Investor Singapura dan Malaysia pun getol berusaha menambah kepemilikannya.

Tengok saja DBS Group Holdings, Singapura, yang mengumumkan untuk mengakuisisi 67,37 persen saham Bank Danamon senilai 6,2 miliar dolar Singapura atau sekira Rp45,2 triliun pada 2 April 2012. Sayangnya, BI belum memberikan lampu hijau. Nasib yang sama dialami Affin Holdings Bhd, Malaysia yang akan menyunting 51 persen saham Bank Ina Perdana dan China Construction Bank Corp,yang akan merangkul 99 persen saham Bank Maspion atau senilai USD200 juta.

Demikian pula RHB CapitalBhd, Malaysia, yang akan menguasai 80 persen saham Bank Mestika Dharma atau senilai Rp3,12 triliun dan Shinhan Bank, Korea Selatan, yang hendak meminang 90 persen saham Centratama Nasional Bank senilai sekira Rp320 miliar.

Langsung saja kita lirik plusminus rencana aturan kepemilikan bank nasional. Pertama, tolok ukurnya good corporate governance (GCG) dan tingkat kesehatan. Aturan tersebut hanya berlaku bagi bank nasional yang tata kelola perusahaan (GCG) dan tingkat kesehatan mereka rendah.

Tolok ukur itu tidak luar biasa. Sesungguhnya, aturan ini sudah lama berjalan. BI telah meluncurkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/4/PBI/2006 tentang GCG dan PBI No 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.

Pertanyaannya, mampukah aturan itu memaksa bank nasional yang kurang perkasa untuk melepas (divestasi) sahamnya? Belum tentu. Mereka kemungkinan besar justru memiliki preferensi untuk memperbaiki GCG dan tingkat kesehatan. Tapi memang aturan kepemilikan bank nasional itu bertujuan supaya bank nasional kian menerapkan GCG.

Selain itu, sudah barang tentu aturan kepemilikan bank nasional itu pun bertujuan untuk melakukan diversifikasi risiko. Formulanya, potensi risiko akan kian mengecil tatkala suatu bank dimiliki oleh banyak pihak.

Kedua, batas kepemilikan saham. Investor individu dibatasi maksimal 20 oersen. Adapun, badan hukum nonlembaga keuangan dibatasi maksimal 30 persen dan lembaga keuangan hingga 40 persen. Coba kita lihat negara lain. Malaysia, Singapura, China dan Thailand membatasi kepemilikan saham bank masing-masing maksimal 20 persen, 20 persen, 25 persen, dan 49 persen.

Sarinya, Indonesia masih terlalu longgar dibandingkan negara Asia lainnya padahal permodalan bank nasional kian gagah. Ketiga, tidak berlaku surut. Hal ini sungguh membuat isu mengenai aturan itu menjadi antiklimaks. Mengapa demikian?

Boleh jadi regulator moneter lebih memilih tidak mengambil risiko berupa gejolak pasar keuangan nasional kalau aturan itu berlaku surut. Lebih dari itu, jangan lupa kelak akan terjadi banjir dana divestasi saham yang mencapai sekitar Rp79 triliun.

BI mungkin takut dana sebesar itu tidak bakal terserap oleh investor dalam negeri. Selain itu, sudah selayaknya pemerintah juga melakukan revisi PP No 29 itu. Aturan kepemilikan bank nasional dan PP itu wajib bergandengan tangan. Untuk apa?

Untuk memandu bank nasional menjadi kian sehat, transparan dan terlindungi oleh negeri sendiri. Tekad mulia itu akan lebih diwujudkan lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kelak ketika OJK mulai efektif. Oleh karena itu, Dewan Komisioner OJK harus diisi oleh insan-insan yang berintegritas, kapabilitas, dan kredibilitas tinggi.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement