JAKARTA - Eks karyawan tiga BUMN yakni PT Garam (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Pertamina (Persero) yang diwakili para serikat pekerjanya mengadukan nasibnya ke Komisi VI DPR-RI.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima menuturkan, hingga kini nasib para karyawan tersebut tidak jelas. Sehingga mereka mempertanyakan statusnya sebagai karyawan tetap.
"Bagi yang di-PHK, selalu mempertanyakan uang pesangon. Belum lagi para karyawan outsourcing yang tidak jelas kontrak kerjanya. Hingga kini, pekerja outsourcing terkatung-katung nasibnya," ujar dia, seperti dikutip dari situs resmi DPR-RI, Kamis (28/2/2013).
Anggota Komisi VI Hendrawan Pratikno juga menjelaskan, pada dasarnya penyelesaian masalah ini sudah berlangsung lama. Pada 2000, DPR pernah membentuk tim yang ditugasi membantu penyelesaian sengketa ketenagakerjaan.
Hendrawan mengakui sempat pula membentuk tim yang kedua pada 2006. Saat itu, Priyo Budi Santoso yang kini sudah menjadi Wakil Ketua DPR RI, pernah menandatangani kesepakatan antara karyawan dan direksi PT Garam Madura. Bahkan, lanjut Hendrawan, kesepakatan itu juga dihadiri perwakilan petani dan menteri BUMN.
"Kesepakatan ini sudah dibuat, tetapi yang menjadi masalah eksekusi di lapangannya tidak jalan. Jadi ini pada tataran kebijakan kita sudah membuat solusi dan semuanya win-win. Tetapi pada level implementasi tidak bulat. Ini yang harus diurai. Kita jangan sampai mengulangi drama yang sama, karena ini memakan waktu. Dan saya yakin bapak-bapak datang ke sini dengan doa dari keluarga dan dengan harapan besar," tukasnya.
Tampaknya, para karyawan sudah lelah dengan perjuangannya menuntut kejelasan status dan uang pesangon akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Masalah ini, sudah sekira 10 tahun lebih bila dihitung dari kesepakatan pertama di 2000.
Menurut Hendrawan, kesepakatan tersebut hanya sekadar ucapan belaka, serta secarik kertas tak bermakna. Artinya, tidak memiliki kekuatan memaksa untuk menjalankan kesepakatan bagi kedua belah pihak.
Bila dihitung, jumlah karyawan yang menuntut kejelasan status dan uang pesangon sekira 800 orang. DPRD Jawa Timur bahkan pernah membentuk Panitia Khusus (Pansus). Namun, kesepakatan untuk membayar pesangon ternyata hanya diberikan kepada para tenaga keamanan saja.
"Karyawan lain tak mendapat apa pun. dikatakan di sini. Terus terang saya berpikir keras. Kalau persoalannya pada level ekskusi, berarti ada masalah di instruksi. Instruksinya harus instruksi yang sifatnya komando. Kalau itu menyangkut perusahaan X, dia langsung perintahkan kepada direksi perusahaan X-nya, sehingga fokus tanggungjawabnya jelas," pungkas Hendrawan.