Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kompetisi Usaha dan War for Talent

Koran SI , Jurnalis-Minggu, 12 Mei 2013 |10:43 WIB
Kompetisi Usaha dan <i>War for Talent</i>
Ilustrasi. (Foto: okezone)
A
A
A

Sesuatu yang luar biasa kembali terjadi di dunia perbankan Indonesia pada 2012. Sebanyak 56 persen responden mengaku kinerja banknya melampaui bujet.

Yang fenomenal, 27 persen responden mengaku melampaui bujet lebih besar dari 20 persen, dan 29 persen mengaku mengalahkan bujet antara 10-20 persen. Hal ini terungkap dalam laporan PwC’s Indonesia Banking Survey 2013 yang dirilis di Hotel Four Seasons, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dunia perbankan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten menikmati pertumbuhan yang tinggi. Pada 2012 ditutup dengan membukukan pertumbuhan 23 persen dalam aset total. Perbankan syariah bahkan mencatat pertumbuhan yang fantastis, yakni 43 persen.

Di sisi lain, meski aset perbankan tumbuh pesat, kualitas penyaluran dana tetap terjaga. Tercatat, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) hanya dua perseb. Ini adalah rasio NPL paling rendah yang pernah dicapai dunia perbankan nasional. Artinya perbankan nasional mampu menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam memasarkan produk dan lebih baik pula dalam mengelola risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.

Persaingan Usaha

Di tengah kinerja perbankan yang sangat baik, para bankir merasakan persaingan usaha yang lebih ketat. Hal ini juga terungkap dalam survei tersebut. Sebanyak 26 persen responden melihat persaingan usaha adalah faktor terbesar yang dapat mengganggu kinerja bank. Masalah persaingan usaha naik dari posisi ketiga di 2012 ke posisi kedua di 2013. Pada survei 2011 persaingan usaha tidak termasuk tiga tantangan terbesar.

Posisi pertama (selisih satu persen dari posisi kedua) tetap diduduki kekhawatiran akan meningkatnya regulasi (27 persen responden), meski survei ini juga mengungkapkan responden merasa supervisi yang dilakukan regulator cukup efektif. Persaingan usaha yang meningkat akan menguntungkan semua pihak, terutama pelanggan. Pelanggan akan menikmati suku bunga kredit yang lebih rendah dan bunga tabungan yang lebih tinggi. Atau margin antara bunga kredit dan bunga tabungan (net interest margin/NIM) akan menyempit.

Hal ini konsisten dengan yang terjadi pada 2012. NIM dari bank BUMN persero turun dari 6,27 persen pada Januari 2012 menjadi 5,9 persen pada Desember 2012, sementara untuk bank umum devisa nasional turun dari 5,6 persen ke 5,17 persen (turun 8,2 persen di 2012). Menyempitnya NIM sesuai dengan harapan Bank Indonesia.

Persaingan yang meningkat, sepanjang masih masuk persaingan sehat, ternyata tidak mengganggu kinerja bank. Bahkan, bank terlihat menikmati persaingan ini dengan kemampuannya untuk meningkatkan dana murah dari tabungan masyarakat dan menyalurkan lebih banyak kredit.

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan tabungan masyarakat, misalnya dengan menawarkan berbagai hadiah, baik yang diundi maupun yang langsung, seperti hadiah emas dan electronic gadget. Layanan diperbaiki dan dipermudah dengan maraknya ebanking. Untuk masyarakat pengusaha, tingkat bunga kredit diturunkan dari 12,14 persen pada awal tahun menjadi 11,61 persen pada Desember 2012.

Penurunan suku bunga kredit ternyata berdampak positif terhadap dunia perbankan dari bertambahnya ekspansi kredit dan NPL yang tetap terjaga relatif rendah. Masih terbentang luas kesempatan perbankan nasional untuk tumbuh, pertama karena GDP yang terus tumbuh dan kedua margin bunga bersih (NIM) kita masih jauh lebih besar dari NIM negara-negara lain yang berkisar 1-2,7 persen.

War for Talent

Tidak mudah membayangkan bahwa beberapa bank nasional saat ini mengalami perputaran karyawan (staff turn over) lebih dari 20 persen dalam setahun. Artinya, setiap tahun kita akan melihat satu dari lima karyawan keluar (resign) dan berganti dengan karyawan baru. Survey PwC Indonesia mengungkap, lima persen responden mengaku staff turn overnya di atas 20 persen, dan 35 persen mengaku antara 10-20 persen. Staff turn over yang tinggi menunjukkan persaingan yang ketat untuk mendapatkan tenaga yang kompeten atau kelangkaan tenaga yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dunia perbankan.

Beberapa bankir mengaku bahwa mencari lulusan perguruan tinggi yang berkualitas dengan latar belakang yang relevan sangat sulit. Karena itu, banyak ketika rekrutmen hanya melihat potensi akademik atau kecerdasan dan perilaku yang baik tanpa memperhatikan disiplin ilmu yang ditempuh di perguruan tinggi. Banyak dijumpai insinyur lulusan IPB dan ITB yang bekerja di sektor perbankan, meski latar belakangnya sarjana hama tanaman atau sarjana geologi. Ini yang menyebabkan beberapa orang menyebut IPB sebagai Institut Perbankan Bogor.

Hal ini juga menyebabkan biaya edukasi dan pelatihan di perbankan relatif tinggi. Survey PwC Indonesia juga mengungkap, 48 persen responden berencana meningkatkan karyawannya sebesar 10 persen atau lebih, meski mereka khawatir untuk mencari tenaga yang kompeten sangat sulit. Paling tidak 80 persen responden mengaku kesulitan. Ketika ditanyakan karyawan apa yang paling sulit dicari, 32 persen responden menjawab karyawan bagian penyaluran kredit (lending), dan 21 persen kesulitan mencari staf IT.

Bagian pendanaan, treasury, human resources, akuntansi dan keuangan, operasi, dan lainnya, meski tidak mudah, tapi tidak selangka bagian lending dan IT.

M JUSUF WIBISANA
Partner PwC Indonesia Dosen FEB Universitas Brawijaya Perbankan Indonesia

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement