JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhirnya mewujudkan tekadnya membawa UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ke Mahkamah Konstitusi. Siapa bakal menang, Anwar Nasution atau Darmin Nasution?
Menyangkut persoalan keuangan negara, baik sisi penerimaan maupun pengeluarannya, semua harus diawasi BPK. Karena itulah, ketika Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang disahkan pada Juni 2007 membatasi kewenangan petugas BPK untuk mengaudit penerimaan pajak, Ketua BPK Anwar Nasution langsung meradang.
Dia bertekad mengajukan uji materiil terhadap UU tersebut. Tekad untuk mengangkat permasalahan itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya benar-benar diwujudkan Rabu pekan lalu.
Uji materiil UU KUP itu, menurut Anwar, tujuannya tak lain untuk mendorong tata kelola tanggung jawab keuangan negara yang transparan dan akuntabel seperti diamanatkan oleh konstitusi. Pasal dalam UU KUP yang dipersoalkan BPK itu, tak lain Pasal 34 ayat (2a) huruf b.
Pasal itu menyebutkan, bahwa untuk bisa mengaudit penerimaan pajak, BPK mesti mendapat restu dari Menteri Keuangan (Menkeu) melalui sebuah penetapan. Alasan diperlukannya restu dari Menkeu adalah demi menjaga kerahasiaan wajib pajak.
Keberadaan pasal tersebut, di mata Anwar, hanya menjadikan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bebas berbuat sekehendak hatinya. Contohnya, paparnya, pernah dalam satu bulan dinyatakan jumlah pemegang nomor pokok wajib pajak (NPWP) naik jadi 10 juta. "Mana bisa kayak begitu, itu pepesan kosong atau ada isinya," umpatnya, seperti dikutip di Jakarta, Jumat (18/1/2008).
Anwar tak mengada-ada. Buktinya, proyeksi penerimaan pajak tahun 2006 menurun hingga Rp 30 triliun. Sekali lagi, ia menegaskan, ini terjadi akibat audit pajak tidak terbuka. "Pajak tak ada terbukanya. Ini negara dalam negara. Saya ditipu terus sama orang pajak," katanya.
Selain alasan transparansi, dalam mengayunkan langkah ke MK, BPK juga mengacu pada kelaziman di negara-negara lain. Syafri Adnan Baharuddin, Auditor Utama Keuangan Negara II BPK, mengungkapkan, di Australia, Malaysia, atau Thailand, BPK bebas mengaudit data Direktorat Jenderal Pajaknya.
"Jadi, memang tak ada alasan untuk menghalangi BPK memeriksa data pajak," ujar Syafri.
Sesungguhnya, sahut Syafri, yang diinginkan BPK dalam mengaudit pajak tak lebih dari soal prosedur, tak sampai ke data wajib pajak.
"Masak seperti itu saja, harus minta izin yang prosesnya bisa memakan waktu empat bulan," katanya. Padahal, auditnya sendiri hanya memakan waktu dua bulan.
Seolah ingin menepis kegusaran Ditjen Pajak, dia lantas mengingatkan, "BPK hanya bisa masuk ke data wajib pajak untuk masalah tertentu yang menyangkut hukum."
Lebih dari itu, Adnan mengingatkan, UUD menyebut BPK adalah lembaga pemeriksa yang mempunyai hak untuk memeriksa semua lembaga negara tanpa kecuali. "Karena itu untuk pasal ini, saya kira DPR lupa akan tugas BPK yang tak mengenal istilah pembatasan," ujarnya.
Menurut pandangan Adnan, pasal yang dianggap membatasi tugas BPK itu, lebih limitatif dibanding UU perpajakan terdahulu, yakni UU Nomor 6 Tahun 1983. Sedangkan dalam Pasal 34 UU KUP disebutkan secara rigid apa saja informasi dan data yang boleh diperoleh BPK, dan mana yang tidak.
"Kalau dalam UU sebelumnya, masih lumayan ketentuannya tidak rigid," tuturnya.
Adnan juga tak habis pikir dengan alasan Ditjen Pajak yang menyatakan bahwa pembatasan kewenangan BPK itu terkait kerahasiaan wajib pajak. Sebab, sejak tahun 1999 BPK juga mengaudit Bank Indonesia dengan leluasa kendati ada ketentuan soal kerahasiaan nasabah.
"Dan sampai sekarang kami tidak pernah ada persoalan dengan kerahasiaan bank," tuturnya. "Masak karena alasan kerahasiaan wajib pajak BPK tidak bisa memeriksa pengelolaan pajak?"
Kalau saja kewenangan BPK untuk memeriksa atau mengaudit pajak tidak dibatasi, Adnan yakin, kinerja penerimaan pajak akan lebih meningkat lagi. Tak lupa ia mengingatkan, kalau kinerja penerimaan pajak meningkat karena telah terjadi pengawasan yang benar dari lembaga auditor seperti BPK, maka yang namanya akan baik adalah Direktorat Jenderal Pajaknya sendiri.
"Kalau dibatasi, sudah menjadi rahasia umum kalau kinerja penerimaan pajak kita selama ini kurang optimal," katanya.
(Rani Hardjanti)