Krisis dan Risiko Perbankan

Koran SI, Jurnalis
Kamis 29 September 2011 15:27 WIB
Ilustrasi. Foto: Koran SI
Share :

Beberapa pemberitaan yang meramalkan akan terjadi krisis ekonomi pada masa depan perlu diantisipasi dini. Kita bersyukur bahwa pada krisis keuangan 2008 Indonesia bisa terhindar dan bahkan menunjukkan kinerja ekonomi yang baik.

Akan tetapi tanda-tanda krisis ke depan diperkirakan lebih dalam dan lebih luas. Krisis keuangan yang dimulai pada 2008 yang lalu disebabkan oleh terjadinya kerugian sektor keuangan dan perbankan akibat produk derivasi yang berlebihan.

Karena komoditas yang mendasari (underlying) mengalami guncangan, khususnya di sektor perumahan, maka terjadi efek berantai di sektor turunan atau pasar derivatif. Terjadi gagal bayar berantai yang memerlukan bailout dari pemerintah.

Bailout pada akhirnya ditanggung masyarakat dan tentu saja mengurangi kemampuan pemerintah menstimulasi aktivitas ekonomi di sektor riil.

Sementara kemungkinan terjadinya krisis sekarang yang gagal adalah pemerintah. Obligasi pemerintah yang berlebihan menyebabkan tiga hal berantai.

Pertama, pemerintah kesulitan membayar. Kedua, mungkin pemerintah meningkatkan pajak atau menambah pengeluaran untuk sektor keuangan yang mengurangi insentif ekonomi di sektor riil. Ketiga, investor di sektor nonriil akan kehilangan kepercayaan.

Mendorong Sektor Riil

Krisis demi krisis berakar dari sistem ekonomi yang berbasis pada terlalu besarnya instrumen derivatif yang sering tidak berhubungan dengan sektor ekonomi riil. Padahal sektor riillah yang menghasilkan produk yang bisa dikonsumsi dan meningkatkan kesejahteraan serta menyerap tenaga kerja yang mengucurkan upah dan memberi akses lapis terbawah pada barang kebutuhan pokok.

Kelebihan potensi ekonomi berupa sisa konsumsi berputar di lapisan atas dan negara maju. Potensi itu tidak tersalur di sektor riil di negara maju karena kejenuhan atau karena rendahnya return, tetapi pada saat yang sama tidak segera tersalur di sektor riil negara ketiga yang masih memiliki kemungkinan tumbuh lebih besar.

Dunia ketiga justru berusaha mengembangkan pasar nonriil yang disebabkan kelatahan mencontoh negara maju. Sistem ekonomi yang berkembang terlihat kehilangan arah bahwa hakikat pengembangan ekonomi adalah kesejahteraan yang nyata.

Jalan pengembangan ini terutama melalui penciptaan produksi yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat, lapangan kerja, dan upah yang memungkinkan rakyat terbawah mengakses berbagai barang dan jasa yang diciptakan.

Sistem perlu campur tangan untuk memberikan reward kepada siapa yang membantu mencapai tujuan seperti di atas. Perbankan yang konsisten, bahkan berbasis pada penguatan sektor riil, layak mendapat prioritas seperti ini.

Dunia Ketiga

Ekonomi dunia sekarang terlalu otomatis di mana setiap kemungkinan menghasilkan return baik sektor riil maupun nonriil berkompetisi. Akibatnya potensi kapital lebih banyak terserap di sektor nonriil.

Ternyata salah satu sifat ekonomi nonriil adalah tiap instrumen tidak independen satu dengan yang lainnya. Keruntuhan yang satu segera merembet pada yang lain atau bersifat sistemik. Industri ini sangat rawan terhadap shock psikologis dan rumor.

Krisis yang diramalkan akan terjadi biasanya memberi koreksi pada sistem yang ada dan memungkinkan lahirnya ekonomi baru. Ekonomi baru inilah yang diharapkan mengurangi peran ekonomi nonriil dan mendorong penguatan ekonomi riil.

Kelebihan kapital di negara maju yang selama ini diserap di pasar derivatif dan saham yang menggelembung lebih masuk akal jika benar-benar tersalur ke ekonomi dunia ketiga yang masih memungkinkan tumbuh.

Kalau demikian halnya, penyerapan itu juga akan memiliki misi lain berupa kemanusiaan, mengurangi keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran sampai kriminalitas dan terorisme.

Peran Perbankan

Lalu lintas modal untuk menggerakkan sektor riil di dunia ketiga hendaknya tidak diwadahi di pasar finansial. Karena bisa jadi modal hanya datang sebentar untuk mencari untung dan pada saat ditarik mungkin justru akan mengguncangkan ekonomi negara ketiga. Sektor perbankan dunia ketiga, terutama yang bergerak menjadi mesin penggerak sektor riil merupakan sektor yang sangat strategis.

Krisis yang diduga akan terjadi tentu akan memukul sektor perbankan.Terutama melalui kredit pada sektor-sektor yang terimbas krisis. Perlu dikaji sektor-sektor apa yang akan terpukul jika terjadi krisis di negara maju.

Sektor ekspor kebutuhan tersier seperti turisme dan aksesori, baik aksesori rumah tangga semisal furnitur maupun aksesori pribadi seperti garmen dan sepatu tentu akan terkena dampak paling kuat.

Perbankan perlu mencermati ekspansi di sektor yang terkena imbas krisis. Pengalaman krisis 2008, keselamatan kita dari krisis disebabkan tingkat integrasi ekonomi yang masih rendah.

Hubungan ke negara-negara yang makin terdiversifikasi tentu saja sangat diperlukan, terutama negara dengan ekonomi yang relatif tradisional. Timur Tengah dan Afrika merupakan pasar yang perlu diolah.

Mengingat kasus Bank Century yang menimbulkan gejolak ketika pemerintah memutuskan bailout, maka regulasi mengenai bailout dan efek sistemik perlu memperoleh payung hukum.

Perbankan sangat berbeda dengan pasar keuangan lain yang tingkat spekulasinya lebih tinggi. Perbankan dan terutama yang setia memberi pembiayaan sektor riil adalah penggerak ekonomi yang perlu dilindungi.

Memang tidak tertutup kemungkinan terjadi kejahatan di dalamnya, terutama unsur manusia yang melakukan fraud. Akan tetapi institusi perbankan itu sendiri sangat diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi kembali untuk melakukan pemulihan pascakrisis.

Apabila ada kredit macet di perbankan, rumusnya adalah salurkan lebih banyak kredit lagi sehingga mampu menutup kerugian yang macet. Hal itu terjadi dalam keadaan normal dan dalam keadaan krisis tentu perlu kerja sama bahu-membahu semua pihak untuk menyelamatkan ekonomi.â-?

BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya