JAKARTA - Penjualan garmen selama tiga bulan pertama tahun ini mengalami stagnasi apabila dibandingkan periode sama tahun lalu. Ketua Harian Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia (APGAI) Suryadi Sasmita mengatakan, penjualan tidak sesuai target semula karena terkendala oleh kebijakan kenaikan harga BBM.
Meski kenaikan harga BBM diundur, kata dia, namun para produsen barang jadi sudah terlanjur menaikkan harga produknya.
"Penjualan selama tiga bulan pertama kurang bagus. Tidak turun tapi tidak naik. Biaya semakin tinggi. Kami merugi. Kebijakan kenaikan harga BBM kemarin itu meski batal, tapi kami pengusaha sudah menaikkan harga. Jadi, konsumen lebih memilih membeli kebutuhan pokok lain yakni makanan ketimbang beli baju,” kata Suryadi ketika dihubungi di Jakarta, Senin (16/4/2012).
Dia berharap, pemerintah jangan terlalu berlarut-larut dalam mengeluarkan kebijakan. Sehingga, kata dia, tidak membebani rakyat. "Pemerintah harus tegas. Kalau begini caranya berarti rakyat yang dirugikan," ucapnya.
Selain itu, kata dia, biaya distribusi pengiriman barang yang semakin tinggi dan lonjakan produk impor juga menghambat penjualan garmen. "Infrastruktur semakin parah. Biaya pengiriman semakin tinggi," tuturnya.
Dia memperkirakan, impor garmen akan mengalami kenaikan sekira 20 persen pada tahun ini. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada tahun lalu mencapai USD6,7 miliar.
"Barang impor harganya lebih murah sehingga memukul industri kecil. Kita ekspor raw material, lalu kita impor dalam bentuk barang jadi, termasuk garmen," tandasnya.