JAKARTA - Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) mengecam keras terbitnya surat peringatan dan pemanggilan pertama kepada 541 pekerja peserta mogok oleh direksi perusahaan itu.
"Ini sangat kami sesalkan dan kecam. Padahal Sudinaker (Suku Dinas Tenaga Kerja) Jakarta Utara tidak pernah mengeluarkan pernyataan mogok JICT sah atau tidak. Namun, tindakan direksi JICT mendahului otoritas yang berwenang dan menantang Undang-Undang," kata Sekjen SP JICT Firmansyah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Para pekerja JICT melakukan aksi mogok kerja mulai 3 Agustus 2017 dan direncanakan akan berlanjut hingga 10 Agustus 2017. Menurut dia, upaya direksi JICT itu patut diduga sebagai upaya intimidasi dan pemberangusan terhadap aksi Serikat Pekerja.
"Alih-alih mencari solusi 'win-win', direksi JICT seolah membiarkan mogok terjadi dengan kerugian perusahaan dan pengguna jasa mencapai ratusan miliar rupiah," katanya.
Firmansyah kembali menegaskan bahwa aksi mogok yang dilakukan pihaknya merupakan reaksi atas wanprestasi kesepakatan oleh direksi terhadap hak pekerja akibat uang sewa ilegal perpanjangan kontrak jilid II. "Sesungguhnya tidak seorang pun, berapa pun besarnya penghasilan, akan merelakan haknya dirampas," katanya.
Menurutnya, direksi JICT bergaji jauh lebih besar yakni di atas Rp2,5 miliar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja. "Prestasi buruk direksi ini patut dicurigai bagian dari gerakan memuluskan penjualan aset nasional JICT," katanya.
Dia menyebut, saat ini pendapatan perusahaan yang besar mencapai Rp3,5 triliun hingga Rp4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan korupsi bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT.
Pasalnya, sejak 2015 JICT telah melakukan super-efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT USD85 juta per tahun, padahal pendapatan perusahaan naik 4,6% pada 2016.
Dengan perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039) yang dilakukan Pelindo II kepada Hutchison, telah terbukti tidak ada nilai tambah karena melanggar UU, merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang.
(Martin Bagya Kertiyasa)