JAKARTA - Ekonom Universitas Pertamina Eka Puspitawati mengatakan utang di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih lebih baik dibandingkan dari masa-masa pemerintahan sebelumnya. Sehingga utang sebesar 27% terhadap Domestik Pajak Bruto (PDB) masih aman.
Menurutnya, tahun 2006 ratio hutang Indonesia masih sebesar 47% terhadap PDB. Pada era Soeharto lumayan tinggi 57% terhadap PDB, karena waktu itu terjadi krisis dan utang Indonesia membengkak.
Baca juga: Simak! Utang RI Tak Bisa Dibandingkan dengan Jepang dan AS
Selain itu, utang luar negeri Indonesia hampir 60% sampai 70% digunakan untuk membayar utang masa lalu. Baik tahun-tahun yang sudah lama sampai sekarang.
"Jadi dari struktur ini kita bisa lihat, dan ini. Kita masih diwarisi utang masa lalu. Ini yang cukup memberatkan untuk ke depan," ungkapnya di Universitas Pertamina, Jakarta, Sabtu (26/8/2017).
Menurutnya, rasio utang negara maju terhadap PDB nya juga lebih tinggi dari Indonesia. Bahkan Jepang ratio utangnya 250% terhadap PDB.
Baca juga: Bayar Cicilan Utang Plus Bunga, Pemerintah Rogoh Rp347 Triliun
"Negara maju jauh lebih tinggi. Jepang ratio uangnya 250% terhadap PDB. Perancis dan UK lebih dari 89% ratio utang terhadap PDB. Indonesia cuma 27%. Tapi, bedanya kita rentan terutama di sektor finansial. Kita sangat rentan digoyang oleh banyak faktor dari dalam maupun dari luar. Atau pengalaman ekonomi yang lalu sangat mudah sekali diguncang. Sehingga mata uang kita anjlok, krisis sehingga utang kita membengkak. Kita jadi defisit," jelasnya.
Namun, ia menjelaskan bahwa utang digunakan untuk kemajuan Indonesia serta mendorong sektor investasi. Yakni untuk sektor pembangunan yang selama ini Indonesia tertinggal sangat jauh dari negara lainnya.
Baca juga: Utang RI Rp3.779 Triliun, Jepang Beri Paling Besar Rp194 Triliun dan China Terkecil Rp20 Miliar
"Utang itu untuk apa? Untuk biayai pembangunan di jangka panjang yang butuh dana sebagai sumber untuk memacu kenaikan investasi dan investasi butuh banyak biaya. Investasi gak bisa dipenuhi oleh sector private sehingga butuh pembiayaan dari luar," tukasnya.
(Fakhri Rezy)