Sementara itu ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, peringkat EODB Indonesia memang membaik yang disertai peringkat daya saing yang juga naik. Namun investor melihat sektor riil seperti daya beli yang lesu, industri pengolahan seperti kehabisan tenaga, dan banyak kebijakan seperti 16 paket kebijakan hanya macan kertas.
”Ini yang membuat kepercayaan investor rendah,” ujar Bhima. Menurut Bhima, bukan hanya reformasi soal perizinan investasi yang didorong, tetapi sektor riil juga perlu diberi stimulus.
Baca Juga: Jokowi Ibaratkan Indonesia Orang Sakit yang Kolesterol dan Jantungnya Baik, tapi Tak Bisa Lari Cepat
Adapun selama ini stimulus tidak berjalan efektif. ”Buktinya janji harga gas industri murah sampai sekarang ternyata masih mahal bahkan dibanding negara yang tidak punya gas alam,” sebutnya. Dia menilai ada harapan di 2018 untuk memacu investasi lebih tinggi namun tergantung kebijakan pemerintah.
Karena yang diharapkan jadi stimulus ekonomi ada dua, yaitu belanja pemerintah dan ekspor. ”Untuk belanja pemerintah seperti bansos jangan telat disalurkan. Kemudian program padat karya harus segera jalan di awal tahun. Ini untuk memulihkan daya beli dan meningkatkan permintaan sektor ritel,” paparnya.
Baca Juga: Panggil Menteri Ekonomi, Jokowi Minta Fokus Investasi dan Perdagangan
Soal ekspor, dia menyarankan pemerintah harus lebih agresif membuka jalan ke negara alternatif. Komoditas ekspor yang dipacu jangan sekadar bahan mentah, tetapi produk jadi sehingga bernilai tambahnya positif. ”Terakhir, jaga situasi politik dan kebijakan jangan aneh dan buat gaduh suasana sehingga tidak kondusif,” urai Bhima.
Sementara itu di sektor perdagangan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2018 sekitar 5,2%–5,4% dan laju inflasi pada kisaran 2,5%–4,5%, maka pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 5%–7%.
(Hafid Fuad)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)