YLKI mencatatkan keluhan belanja online 44% mengenai lambatnya respons komplain. Kemudian 11% pengaduan dugaan penipuan serta 8% aduan dugaan cyber crime.
Tulus menjelaskan penyebab lain dari banyaknya aduan belanja online yakni rendahnya tingkat edukasi masyarakat dalam memahami transaksi online. Transaksi online rentan dengan peretasan, namun edukasi yang kurang membuat masyarakat sering kali tertipu hingga berdampak mendapatkan kerugian. Selain itu, sering kali konsumen tidak cermat terhadap resiko bertransaksi online.
"Konsumen hanya berpatokan pada kemudahan saja. Bisa bertransaksi lewat gadget, kemudian bisa melakukan transaksi online. Tapi belum memikirkan soal data pribadi yang menjadi risiko tinggi dan masalah penipuan yang ada dalam transaksi belanja online," ujar dia.
Adapun sejak tahun 2012 aduan belanja online mengalami tren kenaikan. Dari total pengaduan aduan belanja online di 2012 mencapai 2%, di 2013 1,7%, di 2014 3%, di 2015 7%. Kemudian di 2016 8% dan 2017 16%.
Untuk diketahui, YLKI mencatatkan 10 besar pengaduan konsumen di 2017. Setelah belanja online, kedudukan kedua adalah pengaduan terhadap bank sebesar 13%. Kemudian perumahan dan telekomunikasi masing-masing sebesar 9%. Lalu disusul listrik sebesar 8%.
Kemudian aduan mengenai leasing dan paket yang keduanya sebesar 6%. Lalu transportasi sebesar 5%, otomotif sebesar 3% dan terakhir TV kabel sebesar 2%.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)