Pemerintahan AS Tutup Akan Ganggu Ekonomi, Ini Penjelasannya

Koran SINDO, Jurnalis
Senin 22 Januari 2018 09:43 WIB
(Foto: Koran SINDO)
Share :

WASHINGTON - Tepat setahun pasca-pelantikan Presiden Donald Trump, pemerintahan Amerika Serikat (AS) mengalami penutupan (shutdown) karena Kongres gagal menyetujui anggaran baru.

Jika tidak segera teratasi, penutupan pemerintahan tersebut dalam jangka pan jang akan berpengaruh pada perekonomian Negeri Paman Sam tersebut.

Penutupan pemerintahan ini menjadi perkembangan mengejutkan dalam politik AS. Fenomena serupa pernah terjadi pada 2013 dan berlangsung selama 16 hari. Namun ini pertama kali terjadi penutupan pemerintahan saat Partai Republik menguasai Kongres dan Gedung Putih.

 Baca juga: Anggaran Operasional Ditolak Senat, Pemerintah AS Tutup Sementara

Akibat shutdown ini, Presiden AS Donald Trump menuduh Demokrat lebih mengkhawatirkan imigran illegal dari pada memperkuat militer atau keamanan di perbatasan selatan yang berbahaya. Ketua Demokrat di Senat Chuck Schumer menyatakan, Trump mendapat tekanan dari kekuatan sayap kanan dalam pemerintahannya.

“Presiden tidak akan bernegosiasi perihal reformasi imigrasi hingga Demokrat berhenti melakukan permainan dan membuka kembali pe me rintahan,” sebut Juru Bicara Gedung Putih Sarah Sanders. Anggaran Pemerintah AS seharusnya disetujui pada 1 Oktober lalu, di awal tahun fiskal pemerintahan federal.

Meski demikian Kongres sering gagal memenuhi batas waktu itu dan negosiasi berlanjut hingga tahun baru dan pendanaan lembaga federal diperpanjang secara sementara. Karena Kongres gagal menyepakati perpanjangan untuk pendanaan pemerintahan hingga 16 Februari, lembaga-lembaga federal tutup mulai Sabtu (20/1) pukul 00.01 waktu setempat.

 Baca juga: Dampak Shutdown AS ke Rupiah Minim

Ratusan ribu pegawai di Departemen Perumahan, Lingkungan, Pendidikan dan Perdagangan akan tetap berada di rumah hari ini. Setengah pegawai di Departemen Keuangan, Kesehatan, Pertahanan dan Transportasi juga tidak akan berangkat kerja. Beberapa monumen nasional, termasuk Patung Liberty di New York, juga tutup.

Meski demikian layanan penting yang melindungi nyawa atau properti manusia akan berlanjut, termasuk keamanan nasional, layanan pos, kontrol lalu lintas udara, layanan medis, pengobatan darurat, bantuan bencana, penjara, perpajakan, dan listrik. Proses pelayanan visa di kedutaan besar (kedubes) AS di seluruh dunia disebutkan tidak akan terganggu.

Dalam jangka pendek, penutupan pemerintahan tidak banyak berpengaruh pada perekonomian AS, tapi dalam jangka panjang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penutupan itu mengakibatkan hilangnya waktu kerja produktif para pegawai dan pendapatan yang dikumpulkan dari tiket harian di taman nasional dan museum.

Perusahaan-perusahaan sektor privat yang memiliki kontrak dengan pemerintah juga dapat terganggu. Belanja perjalanan akan dikurangi sehingga memengaruhi perekonomian lokal.

“Penutupan pemerintahan AS pada Oktober 2013 selama 16 hari diperkirakan mengakibatkan turunnya output perekonomian hingga USD20 miliar, memangkas 0,5% poin tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan pada kuartal IV,” ungkap pernyataan perusahaan pemeringkat Moody’s seperti dikutip New York Times.

Baca juga: Bursa Asia Melemah Kena Imbas Tutupnya Pemerintah AS

Saat penutupan itu, sebanyak 850.000 pegawai federal cuti dengan total 6,6 juta hari kerja. Pemerintah pun mengeluarkan dana untuk menggaji mereka selama cuti sebesar USD2 miliar. Sektor swasta juga terpengaruh. Penciptaan lapangan kerja terhenti pada periode itu hingga sebesar 120.000 lapangan kerja selama dua pekan.

“Secara keseluruhan, penutupan berdampak mengurangi pertumbuhan ekonomi 0,1% per pekan dan mungkin lebih,” papar laporan Badan Riset Kongres AS dalam laporan 2014. Standard & Poor’s menyatakan, penutupan pemerintahan dapat memangkas output ekonomi USD6,5 miliar per pekan.

“Dampak penutupan tidak hanya dialami Washington dan para pegawainya, tapi juga dirasakan seluruh sektor di segenap penjuru negeri, mulai dari pusat perbelanjaan hingga taman nasional, dari kon traktor hingga perhotel an,” kata Beth Ann Bovino, Kepala Ekonom AS di S&P.

Rupiah Diuntungkan

Shutdown atau penghentian sementara operasional pemerintahan di AS diprediksi berlangsung dari minggu keempat Januari hingga minggu kedua Februari 2018.

Pengamat ekonomi Institute for Develompent of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira memprediksi dampak terjadinya shutdown bagi Indonesia secara temporer sangat minim ke nilai tukar rupiah.

“Proyeksi rupiah masih berada dalam rentang yang terkendali di kisaran Rp13.350-13.400 ketika terjadi shutdown. Ini disebabkan pada masa shutdown, dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara lain,” ujarnya.

Menurut Bhima, terjadinya shutdown akan menyebabkan prospek pemulihan ekonomi AS bisa terganggu. Dalam posisi ini justru rupiah akan diuntungkan.

“IHSG pun masih tetap positif di angka 6.490-6.500, didorong oleh sentimen investor dalam negeri terhadap prospek pemulihan ekonomi Indonesia,” imbuhnya.

Dalam konteks persiapan menghadapi rencana shutdown saat ini, cadangan devisa Indonesia masih cukup untuk stabilisasi kurs. Angka terakhir bulan Desember 2017 cadangan devisa berada di posisi USD130 miliar.

“Sebagai safety net atau jaring pengaman terhadap gejolak eksternal, cadangan devisa harus terus di tingkatkan nilai maupun kualitasnya dengan mendorong devisa ekspor nonmigas serta devisa pariwisata. Bank Indonesia juga perlu terus memantau resiliensi atau ketahanan fundamental ekonomi terhadap tekanan global,” papar Bhima.

Menurut dia, yang perlu dikhawatirkan adalah bila shutdown berlangsung dalam jangka panjang lebih dari 2 minggu. Dengan pertumbuhan ekonomi AS pada 2017 tercatat sebesar 3,2% pada triwulan III 2017 atau tercepat dalam 3 tahun terakhir, rencana shutdown akan menurunkan prospek ekonomi AS.

“Secara spesifik jika shutdown berlangsung cukup lama, kinerja perdagangan Indonesia ke AS berpotensi terganggu sehingga kinerja ekspor Indonesia sepanjang 2018 berpotensi menurun,” jelasnya.

Berdasarkan data BPS pada 2017, porsi ekspor Indonesia ke AS mencapai 11,2% dari total ekspor atau senilai USD17,1 miliar.

Pemerintah didesak untuk mempersiapkan mitigasi risiko. Salah satunya dengan memperluas pasar ekspor ke negara alternatif sehingga ketergantungan terhadap AS berkurang.

Dari sisi investasi langsung sepanjang Januari-September 2017 berdasarkan data BPKM, realisasi investasi AS di Indonesia berada di peringkat keempat sebesar USD1,53 miliar atau naik USD1,1 miliar bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Tren positif investasi AS pada 2018 bisa terkoreksi akibat terjadinya shutdown, ditambah adanya reformasi kebijakan AS yang mulai berlaku efektif. Dengan kondisi tersebut, pemerintah perlu terus melanjutkan reformasi investasi, khususnya percepatan perizinan, deregulasi, dan evaluasi insentif fiskal. Harapannya efek negatif investasi AS yang berkurang bisa di-off-set oleh kenaikan investasi dari negara lain,” tutur Bhima.

Dampak shutdown di pasar keuangan akan berimplikasi pada naiknya yield surat utang yang mencerminkan kenaikan risiko serta keluarnya modal asing dari negara berkembang. Sepanjang 2017, berdasarkan laporan Bloomberg, dana asing yang keluar dari bursa saham (nett sales) Indonesia mencapai USD2,96 miliar atau hampir Rp40 triliun. (Syarifuddin/Andika/Oktiani Endarwati)

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya