Gaya hidup inilah mendorong perubahan konsumsi rumah tangga dari yang semula berorientasi barang beralih pada pengalaman. Hal ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor leisure, seperti transportasi, hotel/akomodasi, dan restoran/penyediaan makan minum dalam beberapa tahun terakhir.
Meski penjualan ritel menurun, tapi kunjungan untuk tempat-tempat wisata dan kuliner semakin meningkat setiap tahun. Jika untuk kepemilikan kendaraan bisa dengan sistem sharing /berbagi karena semakin menjamurnya transportasi daring, namun tidak dengan perumahan. Mungkin pemikiran bahwa harus segera memiliki rumah itu masih dianggap kuno, tapi bagaimana pun hal tersebut harus terpenuhi.
Bagi siapa pun, rumah merupakan tempat paling ideal untuk kembali sekaligus menghimpun energi untuk menik mati hidup. Bahwa pengalaman dan liburan itu penting, tapi punya rumah itu juga tidak kalah penting bahkan prioritas. Hal ini karena semakin milenial menunda memiliki rumah, maka harga rumah semakin tidak terjangkau.
Harus ada pengaturan pengeluaran bagi generasi milenial ini. Tidak dapat dimungkiri bahwa kerasnya persaingan di du n ia kerja dan bisnis hingga kemacetan yang menyita waktu mengakibatkan kebutuhan untuk liburan/rekreasi juga semakin meningkat. Fenomena fear of missing out (FOMO) atau ketakutan jika tidak ikut menikmati sebuah pengalaman harus dihilangkan.
Ketakutan tidak bisa traveling atau tidak bisa menonton konser harus di hilangkan. Karena bisa jadi bukan lagi sebagai sebuah kebutuhan namun lebih pada ajang pamer dan eksistensi. Tidak mengherankan jika ada banyak tampilan kepurapuraan yang menghiasi media sosial. Padahal tidak semua milenial itu kuat secara ekonomi atau seperti yang mereka pertontonkan.
Tidak semua milenial mampu, tidak semua milenial merupakan entrepreneur muda atau karyawan perusahaan bergengsi. Ada banyak milenial rapuh. Ada banyak milenial bergaji di bawah UMR, demikian juga ada banyak milenial pengangguran lulusan SMA/SMK namun ingin eksis.