JAKARTA - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami terdepresiasi hingga sempat ke level Rp14.500 per USD.
Melansir Bloomberg Dollar Index, Selasa (31/7/2018) pada perdagangan spot exchange, Rupiah mengalami perbaikan dengan menguat 6 poin atau 0,04% ke level Rp14.409 per USD.
Menanggapi kondisi tersebut, Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini menyatakan, pelemahan Rupiah terjadi karena banyak faktor yang tak bisa dikelola oleh pemerintah dengan baik. Hal ini didorong koordinasi yang kurang baik dalam menjaga ekonomi fiskal Indonesia.
"Faktor-faktor melemahnya nilai tukar Rupiah gagal dikelola. Tim ekonomi kita tidak solid, antara menko dan antara menteri-menteri berkelahi. Artinya ada masalah leadership kemimpinan ekonomi yang berat saat ini," ujarnya dalam acara Seminar Nasional Ekonomi Pasca Pilkada, di Gedung Semeco, Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Dia menyatakan, bila melihat masa kepimpinan Soeharto cadangan devisa dalam kisaran USD30 miliar-USD35 miliar. Angka ini memang lebih kecil dari posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2018 yang sebesar USD119,8 miliar, namun menurutnya, Soeharto diniliai bisa mengendalikan inflasi kecuali pada krisis 1998.
Di sisi lain, pada era Joko Widodo (Jokowi) kondisi sektor luar negeri tidak terjaga dengan baik, sehingga nilai tukar Rupiah yang menyentuh Rp14.500 per USD, membuat Indonesia sulit dalam mengimpor.