"Ini adalah bagaimana perjanjian bilateral antara eksportirnya dengan bank," imbuhnya.
Hal ini mengingat, selama ini eksportir berutang dengan bank asing sehingga menaruh kembali dana hasil ekspor di sana. Selain itu bunga utang bank asing tersebut juga lebih murah ketimbang bank lokal. Misalkan, eksportir berutang ke bank lokal, maka selisih bisa lebih mahal hingga 30%.
"Kalau pinjamannya Rupiah, hasilnya dolar kan ada risiko missmatch dan sebagainya, cuma kalau pinjamannya dolar dan hasilnya dolar kan tidak mungkin," ungkapnya.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga telah memberikan insentif dengan menurunkan biaya swap (swap rate). Sehingga diharapkan memikat eksportir untuk mau menukar devisanya ke Rupiah.