JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selalu berada di level 5%. Di tahun 2016 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%, kemudian di 2017 sebesar 5,07%, pada tahun ini dalam APBN 2018 Pemerintah menargetkan ekonomi tumbuh 5,4%, sedangkan di 2019 target pertumbuhan ekonomi turun ke 5,3%.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menjelaskan alasan ekonomi Indonesia selalu tumbuh di level 5%. Faktor utamanya yakni kondisi perekonomian global yang berimbas ke domestik.
Baca Juga: Meleset dari Target, Sri Mulyani Ramal Pertumbuhan Ekonomi 2018 Hanya 5,17%
Dia menyatakan, dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Bappenas pernah optimistis pertumbuhan ekonomi bisa di atas 5% bahkan di 2019 sempat ditargetkan tumbuh 8%. Namun, hantaman ekonomi global menghambat cita-cita tersebut.
Menurut Bambang, Indonesia tidak menyiapkan industrialisasi, khususnya di sektor manufaktur, seiring adanya hantaman ekonomi global.
“Ternyata hitungan 5 tahun ini, pertumbuhan ekonomi kita cuma 5,3%. Kita punya hambatan dan harus ada kebangkitan jasa dan manufaktur. Kuncinya adalah pertumbuhan ekonomi dengan nilai tambah,” kata Bambang dalam diskusi alumni ITB di Energy Building, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Dia bercerita, pada tahun 2009-2012 ekonomi dunia sedang tumbuh terutama pada negera emerging market yang tumbuh agresif. Hal itu didorong pemulihan ekonomi Amerika Serikat, meski dari sisi kebijakan fiskal tak bisa bergerak karena terkendala dengan anggaran.
Baca Juga: Pembangunan Infrastruktur Daerah Pacu Pertumbuhan Ekonomi
"AS enggak bisa melakukan ekspansi fiskal karena pemerintahan dikuasai Partai Demokrat tapi parlemen dikuasai Partai Republik. Jadi sumbernya hanya dari kebijakan moneter, The Fed (Bank Sentral AS)," jelas dia.
Kebijakan stimulus ekonomi dari The Fed pada saat itu menguntungkan negara emerging market, terlebih ditambah ekonomi China yang menguat sehingga permintaan dari negara tersebut tinggi. Juga didukung harga komoditas yang tinggi pada masa itu.
"Itulah kenapa ekonomi Indonesia pernah tumbuh 6,5% karena komoditas itulah sebenarnya. Tapi yang tidak bisa bikin tinggi lagi pertumbuhan ekonomi karena komoditas itu umurnya pendek, sementara harganya tidak stabil, fluktuatif. Beda dengan bidang manufaktur yang relatif stabil karena berdasarkan permintaan," papar dia.
Kejayaan harga komoditas yang tinggi pun berakhir di 2013, puncaknya di tahun 2014-2015. Hal itu yang membuat target pertumbuhan ekonomi setidaknya ke 7% sulit bisa tercapai.
"Kita juga belum selesaikan PR besar yakni industrialisasi. Itu yang absen dari ekonomi Indonesia," katanya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)