JAKARTA – Indonesia menjadi negara terbesar dan tercepat dalam pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dalam kurun 2018.
Nilai pasar sektor ini mencapai USD27 miliar (Rp391 triliun) untuk transaksi konsumen online yang meliputi e-commerce, media online, dan perjalanan online. Nilai ekonomi digital pada tahun ini meningkat signifikan dibanding 2015 lalu yang hanya USD8 miliar.
Kedigdayaan ekonomi digital Indonesia ini berdasarkan pada laporan yang dirilis Google Temasek e- Conomy SEA. Faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital tersebut di antaranya didorong Singles’ Day pada 11 November, Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) setiap 12 Desember, dan bulan Ramadan.
Baca Juga: Hadiri Digital Startup 2018, Jokowi Ingin Anak Muda Berkompetisi di Industri 4.0
Kecantikan elektronik dan pakaian menjadi produk favorit konsumen Indonesia dan paling banyak diburu. Riset dari Google tersebut juga memprediksikan perekonomian digital Indonesia tumbuh hingga USD100 miliar pada 2025.
Angka tersebut berasal dari perdagangan online dari marketplace,toko online, brand yang menjual produknya secara online, dan belum termasuk dari layanan perjalanan dan pembelian makanan secara online.
Data yang dirilis Google Temasek e-Conomy SEA juga memberikan perhatian pada besarnya potensi layanan transportasi berbasis online. Dalam laporannya disebutkan bahwa aplikasi transportasi online seperti Grab dan Go-Jek menyumbang transaksi sekitar USD2 miliar sepanjang tahun ini.
Jumlah transaksi tersebut bukan hanya berasal dari sektor transportasi semata, tetapi juga dari layanan lainnya seperti jasa pengiriman dan pesan makanan. Dari sisi investasi, bisnis digital juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemodal.
Berdasarkan catatan Google Temasek e-Conomy SEA, sejak periode 2015 hingga sekarang, total sudah USD24 miliar dana investasi yang mengalir ke berbagai perusahaan rintisan di kawasan Asia Tenggara yang jumlahnya mencapai 2.500 entitas.
Dari puluhan miliar dolar tersebut, sebanyak USD9 miliar di antaranya masuk ke startup unicorn seperti Grab, Go-Jek, Bukalapak, Lazada, Razer, Sea, Traveloka, Tokopedia, VNG. Pakar marketing Yuswohady mengakui tren belanja online pada setahun terakhir ini sangat nyata dan menggeser perbelanjaan offline.
Baca Juga: Persiapan SDM Indonesia Hadapi Ekonomi Digital
Jika 2-3 tahun lalu belanja online menjadi booming, pada tahun ini dampaknya bisa dirasakan dengan ditutupnya beberapa gerai toko offline. “Trennya tidak akan kembali lagi, konsumen akan terus belanja online dan meninggalkan belanja secara konvensional karena semua aspek kehidupan sudah dalam genggaman,” tutur pria yang akrab dipanggil Yuswo itu kepada KORAN SINDO.
Menurut Yuswo, kemudahan kini menjadi faktor penentu masyarakat Indonesia yang mulai beralih ke belanja online. Banyak kelebihan belanja online membuat cara belanja tersebut sudah tak tertandingi lagi.
“Seperti misalnya harga produk lebih murah, penawaran diskon besar, pilihan produk dan penjual juga banyak yang dapat dicari dengan mudahnya. Pindah dari toko satu ke toko lainnya atau pasar online sangat mudah, hanya sekali klik,” terangnya.
Mekanisme pasar, menurutnya, juga ditentukan oleh konsumen. Jika konsumen tidak puas, bisa langsung pindah ke toko lain dengan meninggalkan testimoni untuk toko sebelumnya sehingga siapa pun pemilik toko online yang tidak bisa memberikan kepuasan pelanggan akan ditinggal oleh konsumen.
Prinsip ekonomi digital juga komodifikasi melalui margin yang ditekan karena tidak memiliki inventori. Yuswo mengungkapkan, selama ini dalam bisnis perdagangan yang membuat harga produk tinggi karena beban inventori.
Tentu jika tidak ada fisik toko, tentu pengeluaran dapat ditekan, harga produk dapat lebih murah. “Konsumen juga menentukan harga, tentu mereka akan mencari yang lebih murah. Penjual akan terus menekan harga sehingga terjadilah harga yang sangat murah.
Komodifikasi ini hanya berlaku untuk produk standar, bukan produk mewah,” tuturnya. Dia lantas menuturkan, perkembangan pasar digital di Indonesia juga menjadi kabar baik bagi entrepreneur. Yuswo pun menyarankan agar para pebisnis mempunyai massa atau pelanggan online yang setia pada produknya.
Baca Juga: Nilai Industri Digital USD150 Miliar, Menperin Dorong Startup RI Mendunia
“Jadi saran saya bagi entrepereneur harus ada komunitas pencinta produk mereka sendiri. Membangun itu tentu butuh usaha lebih selain produk berkualitas juga mengisi konten digital yang menarik perhatian konsumen online,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Indonesia Ecommerce Association (IdEA) Ignatius Untung membenarkan platform marketplace memang sedang berada di puncak daya tarik konsumen digital. Namun, IdEA tengah menyoroti marketplace yang hanya menjual diskon untuk menarik konsumen.
Padahal, hal lain adalah dapat memanfaatkan atau menggunakan cara lain agar konsumen juga dapat tereduksi untuk tidak hanya memilih produk yang murah.
“Marketplace dapat meningkatkan layanan agar loyalitas konsumen meningkat. Jangan loyal hanya diskon, tetapi dengan brand kalau tidak ada diskon ditinggal konsumen,” tutur Ignatius.
Peningkatan layanan juga salah satunya untuk perlindungan konsumen. Marketplace memang menjadi sarana untuk mencegah penipuan dalam berbelanja online.
IdEA pun terus mengedukasi masyarakat untuk pindah bertransaksi melalui platform marketplace. Jika ada kerugian yang dialami konsumen, dapat langsung dipertanggungjawabkan. Perdagangan online luas, media sosial pun digunakan untuk jual beli, namun banyak masalah yang muncul.
“Kalau belanja online melalui media sosial, berkomunikasi dengan aplikasi chatting. Jika ada masalah melapor ke perusahaan, media sosial tidak akan ditanggapi,” jelas country manager Rumah123.com ini.
Perlindungan konsumen online menjadi prioritas bagi IdEA di platform marketplace. Ignatius menjelaskan, tim di IdEA sedang membuat roadmap perlindungan konsumen berupa sertifikasi untuk seluruh pemain e-commerce.
Sertifikasi ini akan seperti ISO pada produk, tetapi ini untuk penjual dan platform. “Kami sertifikasi, dua tahun sekali direviu masih layak tidak dapat sertifikasi itu. Berlaku untuk semua pemain besar maupun kecil.
Kemudian IdEA akan mengomunikasikan ke konsumen jika belanja yang sudah memiliki sertifikasi Grade A lebih aman dan terlindungi,” tuturnya. Penilaian yang diukur, menurutnya, adalah seberapa banyak komplain, seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan komplain, termasuk seberapa besar jumlah sumber daya untuk menyelesaikan komplain tersebut.
“Keandalan sistem dan masih banyak lagi. Semua kami bilang dan nanti akan keluar grade - nya,” tambahnya. IdEA juga mengundang Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) agar sama-sama menjaga.
Setelah semua penilaian siap akan ada sosialisasi dan penilaian kemungkinan akan dijalankan pada awal 2020. “Platform dan penjual yang menjadi fokus untuk dinilai. Kalau produk sebenarnya sudah otomatis, jika platform marketplace bertanggung jawab, jika ada produk yang tidak jelas, akan langsung diblack list,” ungkap Ignatius.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi juga turut menaruh perhatian terhadap kegemaran masyarakat Indonesia yang gemar berbelanja online. Terlebih dengan ada hari belanja khusus yang disebut Singelsí Day pada 11 November dan Harbolnas pada 12 Desember.
Kepada pemerintah, YLKI mendesak agar segera disahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Belanja Online yang kini masih mangkrak.
“Ironis di tengah besarnya pertumbuhan ekonomi digital salah satunya belanja online,tapi regulasi perlindungan konsumennya masih rendah. Padahal, pengaduan belanja online masih sangat dominan. Bahkan di YLKI pengaduan belanja online menjadi rangking tertinggi,” ujar Tulus.
Bukan hanya kepada pemerintah, YLKI juga mengajak konsumen Indonesia untuk tetap waspada meskipun sudah berbelanja di platform marketplace yang diklaim aman. Ia meminta kepada masyarakat untuk memastikan interaksi langsung dengan pedagang online yang kredibel dan identitas yang jelas.
(Ananda Nararya)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)