Ibu Kota Baru RI Disarankan Cukup Kota Administratif, Tak Ada Pilkada dan Hanya PNS

Koran SINDO, Jurnalis
Jum'at 10 Mei 2019 08:40 WIB
Foto: Jokowi Tinjau Bukit Soeharto (Setkab)
Share :

JAKARTA - Berbagai masukan mulai muncul setelah bergulisnya rencana pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah terkait status ibu kota negara baru nantinya.

Sejumlah kalangan menilai, status ibu kota baru nantinya sebaiknya hanya sebatas kota administratif saja. Konsep kota administratif ini tentu akan jauh berbeda dengan status DKI Jakarta saat ini yang merupakan daerah otonom.

“Saya pikir cukup kota administratif saja. Tidak perlu membentuk provinsi yang gede. Cukup untuk satu atau maksimal dua juta penduduk yang terdiri dari pegawai pemerintah,” ungkap pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Dukungan Regulasi Otonomi Daerah dalam Rangka Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara” di Hotel Aryaduta, Jakarta, kemarin.

 Baca Juga: Pemindahan Ibu Kota Sudah Masuk RPJMN 2020-2024

Menurut dia, dengan konsep sebagai kota administratif, maka dipastikan tidak akan ada pemilihan kepala daerah (pilkada). Seperti diketahui saat ini daerah-daerah yang berstatus sebagai wilayah administratif antara lain Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.

Sehingga, pemimpin daerah-daerah tersebut tidak dipilih langsung, melainkan dipilih oleh gubernur DKI Jakarta. “Seperti di Putra Jaya Malaysia itu tidak ada politik-politikan. Jadi format ibu kota yang ada di Jakarta kita perbaiki untuk yang baru. Nanti wali kota ibu kota negara dipilih langsung presiden. Kan ibu kota negara kantornya presiden. Kalau dibuat otonom nanti ribet lagi,” ungkapnya.

Menurut dia, ibu kota negara yang baru harus dikonsep sebagai tempat yang aman dan nyaman. Di mana kota itu nantinya hanya diisi oleh pegawai negeri sipil (PNS) dan para politisi di parlemen. “Nanti baru daerah di sekitar ibu kota negara baru sebagai kota penyangga. Di mana daerah penyangga yang memberikan dukungan-dukungan ke ibu kota negara seperti hasil pertanian,” paparnya.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini pun mengatakan bahwa Kemendagri memiliki tanggung jawab yang cukup berat karena harus mempersiapkan regulasi. Dalam hal ini regulasi untuk ibu kota negara yang baru dan status DKI Jakarta ke depan.

 Baca Juga: Menko Luhut: Studi Pemindahan Ibu Kota Bukan Asal-asalan

Menurut dia, pembentukan regulasi tidak akan mudah karena harus berhadapan dengan DPR untuk menggolkan rencana ini. “Ini pasti kontroversi. Memang tidak menggolkan. Apalagi pascapilpres ada pendapat yang lain. Kan pasti oposisi inginnya beda saja. Oleh karena lobi politik itu perlu. Pemindahan itu kan selalu kontroversi. Politisi juga akan tarik menarik kepentingan,” katanya.

Mantan Dirjen Otda Kemendagri lainnya, Sumarsono mengatakan bahwa memang ada banyak regulasi yang harus dipersiapkan. Di antaranya regulasi pokok dan regulasi terkait. “Regulasi pokok ini terkait undang-undang terkait ibukota negara baru. Lalu revisi UU 29/2007 terkait DKI Jakarta. Sisanya sifatnya undang-undang terkait seperti UU pemda, UU Otsus,” ungkapnya.

 

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya