Pasalnya, insentif dan tukin sebenarnya pendapatan yang didasarkan atas kinerja. “Kan sebenarnya sama saja. Saya kira ini harus jadi langkah awal menuju sistem penggajian tunggal karena selama ini terlalu banyak varian gaji PNS kita. Kami sudah lama usulkan itu,” ujarnya. Robert mengatakan, selama ini yang menerima insentif dan tukin secara bersamaan adalah pejabat-pejabat di SKPD yang mengurus perizinan dan pendapatan daerah. Bahkan, dia menyebut aparat keamanan dan kejaksaan juga menerima insentif karena membantu menggenjot pemasukan pajak. “Jadi, memang ini diskriminatif. Hanya di instansi tertentu. Padahal, di SKPD lain juga bekerja, tapi tidak mendapatkan insentif dan hanya tukin. Ini (berpotensi membuat) kecemburuan terjadi,” ungkapnya.
Endi berharap adanya ketentuan ini dapat mengubah paradigma bahwa semua instansi sama-sama bekerja. Tidak ada lagi instansi yang dinilai paling berjasa bagi jalannya pemerintahan. “Jadi semua SKPD harus di perlakukan sama. Jangan ada lagi yang sebutan SKPD basah dan tidak basah. SKPD air mata dan SKPD mata air. Ini harus dihilangkan,” desaknya. Meski begitu, dia menilai masih banyak aspek yang masih perlu diperbaiki dalam sistem penggajian ASN. Salah satunya dalam pemberian tukin seharusnya setelah hasil kinerja pegawai terlihat.
“Lalu juga perlu ditentukan siapa yang paling tepat dalam mengukur kinerja secara berkala. Lalu alat ukurnya harus objektif. Hasil penilaian kinerja ini dapat dijadikan basis perbaikan dan penghitungan tukin ke depan,” katanya.
(Dita Angga)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)