JAKARTA - Sekolah menengah kejuruan (SMK) harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan industri. Dengan demikian lulusannya bisa terserap industri.
Pandangan itu disampaikan kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) merespons fakta bahwa angka pengangguran lulusan SMK lebih tinggi bila dibandingkan dengan lulusan sekolah menengah atas (SMA).
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2018 sebanyak 7 juta orang menganggur. Dari jumlah tersebut, lulusan SMK mendominasi, yakni sebesar 11,24%, sedangkan lulusan SMA 7,95%. Kondisi ini dianggap ironis karena semestinya lulusan SMK lebih terserap lapangan pekerjaan formal karena secara teoretis mereka telah dibekali keterampilan.
"Tantangan utama bagi tenaga kerja Indonesia adalah ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan industri. Untuk itu program link and match sangat membantu sehingga lulusan SMK bisa bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan industri," ujar Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani di Jakarta.
Baca Juga: Tingkat Pengangguran Tinggi, Metode Pendidikan Vokasi SMK Dipertanyakan
Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan SDM, pihaknya sudah membuat pelatihan vokasi di kawasan industri yang sesuai dengan industri yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia dengan lebih banyak skilled labor.
“Saat ini ada perubahan dari jenis pekerjaan karena faktor teknologi. Untuk itu diperlukan insentif bagi dunia usaha untuk pengembangan kapasitas SDM. Kami menyambut baik pemerintah yang mengeluarkan super-deductible tax untuk pelatihan. Ini akan sangat membantu untuk mendorong perusahaan melakukan lebih banyak lagi pelatihan, khususnya vokasi," kata Shinta.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto meyakinkan bahwa industri masih membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Hanya saja dia menekankan pentingnya kualitas SDM sesuai dengan kebutuhan industri. “Tapi itu tadi, kualitas SMK-nya, didikannya (mesti) mengikuti perkembangan kebutuhan tenaga kerja. Jangan sampai kurikulumnya ketinggalan jauh dengan kebutuhan setiap perusahaan,” ujarnya.
Baca Juga: Kurikulum SMK Tidak Menghasilkan Lulusan untuk Kerja
Pengamat pendidikan dari UPI Said Hamid Hasan sepakat, banyaknya angka pengangguran tingkat SMK ini karena banyak program SMK yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri di sekitarnya. Selain itu karena banyak program SMK yang tidak memiliki peralatan yang tidak lagi digunakan dunia industri.
“Sehingga mereka terampil, tapi bukan menguasai keterampilan yang diperlukan dunia industri. Kondisi ini juga terjadi karena SMK tidak lagi dalam program kerja sama dengan dunia industri sehingga jumlah lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan industri,” ujar dia.
Solusi yang bisa dilakukan pemerintah, lanjutnya, ialah jika mau membuka suatu program SMK, terlebih dulu harus ada pernyataan dunia industri mengenai kebutuhan tenaga yang akan dihasilkan. Selain itu kurikulum SMK yang dibuat haruslah model market driven curriculum yang dikembangkan bersama dengan dunia industri.