Kebijakan sistem zonasi saat ini terutama diterapkan untuk sekolah negeri jenjang SMP dan SMA. Sehingga jika melihat perjalanan hidup seseorang secara umum, kebijakan ini memang baru akan berdampak ketika mereka berusia 35-40 tahun ke atas dan memiliki anak usia sekolah tingkat lanjut.
Sangat mungkin belum terbayang untuk mereka yang baru membeli rumah pertama kali di usia yang relatif masih muda, misal 25-30 tahun, untuk memikirkan tentang kedekatan rumah dengan sekolah yang diinginkan.
Dengan demikian, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi masalah ini. Pertama yang wajib dilakukan adalah mempelajari area rumah baru tersebut. Sangat dianjurkan untuk melakukan pengecekan mengenai rencana tata kota daerah yang bersangkutan.
Hal kedua yang perlu dipertimbangkan adalah seseorang tidak harus tinggal di rumah yang sama seumur hidupnya. Mereka bisa mempertimbangkan untuk melakukan upgrade atau pindah rumah pada saat membutuhkannya.
Namun perumahan baru yang ada saat ini biasanya memang memiliki lokasi yang relatif jauh dari sekolah-sekolah negeri sehingga akan menyulitkan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah negeri pilihan mereka jika tidak masuk ke area sistem zonasi sekolah tersebut.
Oleh karena itu, survei langsung ke lokasi properti idaman penting untuk dilakukan. Selain bisa mengetahui langsung kondisi lingkungan perumahannya, fasilitas dan potensi sekitar, konsumen juga bisa mengukur jarak tempuh dan mempelajari akses transportasi dan fasilitas umum yang ada.
“Harus diakui, kebijakan zonasi sekolah akan mempengaruhi industri properti karena bisa memicu kebutuhan akan hunian di sekolah-sekolah yang selama ini menjadi favorit masyarakat. Dengan memiliki hunian di dekat sekolah pilihan akan memudahkan para penghuninya mendapatkan akses pendidikan terbaik,” pungkas Ike.
(Dani Jumadil Akhir)