JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatatkan, defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia meningkat pada kuartal II-2019 menjadi USD8,4 miliar atau setara 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada kuartal sebelumnya CAD tercatat sebesar USD7 miliar atau setara 2,6% dari PDB.
"Peningkatan itu dipengaruhi perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, serta dampak pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan harga komoditas yang turun," jelas BI dalam rilis statistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019, Jumat (9/8/2019).
Dengan melebarnya CAD, maka NPI Indonesia mengalami defisit sebesar USD2 miliar pada periode April-Juni 2019. Meski demikian, jika akumulatif sepanjang semeter I-2019, NPI masih mencatatkan surplus sebesar USD400 juta.
Baca Juga: BI: Investasi Dorong Pertumbuhan Kinerja Industri Pengolahan
Untuk diketahui, dalam komponen neraca transaksi berjalan terdapat neraca perdagangan, neraca jasa, neraca pendapatan primer, dan neraca pendapatan sekunder. Dari keempat itu, pos perdagangan barang dan pendapatan primer paling menekan transaksi berjalan di kuartal II-2019.
Pada pos perdagangan barang kinerja ekspor non migas dan migas mengalami tekanan. Ekspor nonmigas tercatat menjadi USD37,2 miliar, turun dibandingkan dengan capaian pada kuartal sebelumnya sebesar USD38,2 miliar.
"Kinerja ekspor nonmigas juga menurun sejalan dampak perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang menurun," jelas BI.
Baca Juga: Aliran Modal Asing Masuk ke RI Capai Rp192,5 Triliun hingga Akhir Juli 2019
Sementara defisit neraca perdagangan migas meningkat menjadi USD3,2 miliar dari USD2,2 miliar pada kuartal sebelumnya. Hal ini seiring dengan kenaikan rerata harga minyak global dan peningkatan permintaan musiman impor migas terkait hari raya Idul Fitri dan libur sekolah.
Sedangkan defisit neraca pendapatan primer pada kuartal-II 2019 membesar menjadi USD8,7 miliar dari kuartal sebelumnya yang sebesar USD8,1 miliar. Juga lebih besar bila dibandingkan kuartal II-2018 yang mencapai USD8,02 miliar.
"Ini didorong faktor musiman peningkatan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri," demikian tertulis.
(Rani Hardjanti)