SEMARANG – Tahun Baru China atau yang kerap disebut Imlek akan segera tiba. Menjelang perayaan Imlek, kawasan Pecinan Kota Semarang selalu menjadi pusat keramaian.
Beberapa agenda seperti Pasar Semawis, Tuk Panjang, hingga Opera Jalanan kerap digelar di kawasan tersebut menjelang Imlek. Tak terkecuali menjelang Tahun Baru China atau Imlek 2571 yang jatuh pada Sabtu (25/1/2020).
Baca juga; Jelang Imlek 2020, Amplop Angpao Bergambar Tikus Diburu Pembeli
Perayaan Imlek di kawasan Pecinan memang selalu meriah. Maklum, mayoritas penduduk yang tinggal di kawasan tersebut merupakan orang-orang keturunan Tionghoa.
Mengutip Solopos, Jakarta, Jumat (24/1/2020), di kawasan ini tercatat ada sembilan bangunan kelenteng yang digunakan warga keturunan Tionghoa beribadah. Kesembilan kelenteng itu yakni Siu Hok Bio di Jalan Wotgandul Timur No.38, Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa di Jl. Gang Pinggir No.105-107, Tay Kak Sie di Jl. Gang Lombok No. 62, dan Kong Tik Soe di Jl. Gang Lombok.
Baca juga: Jelang Imlek, Pedagang Pernak-pernik Ngeluh Hanya Kantongi Omzet Rp10 Juta
Kemudian Kelenteng Hoo Hok Bio di Jl. Gang Cilik No.7, Tong Pek Bio di Jl. Gang Pinggir No.70, Kelenteng Wie Hwie Kiong di Jl. Sebandaran I No.26, Ling Hok Bio di Jl. Gang Pinggir No.110, dan Kelenteng See Hoo Kiong/Ma Tjouw Kiong di Jl. Sebandaran I No.32.
Storyteller asal Kota Semarang, Jongkie Tio, menyebut terbentuknya kawasan Pecinan di Semarang tak bisa dilepaskan dari peristiwa Geger Pacinan pada 1740 silam.
Baca juga: Jelang Imlek, Pedagang Pernak-pernik Ngeluh Hanya Kantongi Omzet Rp10 Juta
Saat itu, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau yang karib disebut Kompeni melakukan pembantaian terhadap warga Tionghoa di Batavia, sekarang Jakarta. Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos lantas melarikan diri hingga ke Semarang.
Di Semarang, orang Tionghoa sempat bergabung dengan Raja Kasunanan Kartasura, Pakubuwono II, untuk menentang VOC. Namun, setelah Pakubowono II kalah dan tunduk dari VOC, warga Tionghoa bersama kaum pribumi kemudian mengangkat cucu Amangkurat III, Raden Mas Garendi sebagai raja.
Raden Mas Garendi yang juga dikenal dengan sebutan Sunan Kuning, karena memimpin kaum berkulit kuning, akhirnya memimpin pemberontakan ke Kartasura pada 1742. Akibat pemberontakan itu, Kasunanan Kartasura pun jatuh.
“Setelah runtuhnya Kasunanan Kartasura itu, akhirnya terbentuk Kasunanan Surakarta dan kemudian Keraton Yogyakarta,” tutur Jongkie.