JB Sumarlin Hadapi Negara Nyaris Bangkrut Akibat Keuangan Pertamina

Rani Hardjanti, Jurnalis
Kamis 06 Februari 2020 18:00 WIB
JB Sumarlin soal Pertamina (Foto: Okezone.com)
Share :

JAKARTA - Menteri Keuangan era Presiden Soeharto JB Sumarlin tutup usia hari ini. Bahkan JB Sumarlin menjadi Menteri Keuangan terbaik pertama di Indonesia.

Selama menjalani masa jabatannya sebagai bendahara negara sekaligus arsitek ekonomi Indonesia kala itu, JB Sumarlin menghadapi sejumlah tantangan. Selain maraknya pungli, pria lulusan Universitas Indonesia itu juga harus menghadapi kasus besar di mana kondisi di mana negara nyaris bangkrut lantaran krisis keuangan yang dihadapi PT Pertamina.

Baca Juga: JB Sumarlin Pernah Menyamar demi Brantas Pungli Pajak dan Uang Pensiunan

JB Sumarlin terus berkoodinasi dengan Presiden Soeharto secara intens agar persoalan dapat tertangani dengan baik. "Pak Harto juga tetap tenang di saat menghadapi sejumlah kesulitan dan masalah besar. Salah satu kasus yang hampir membangkrutkan negara adalah krisis keuangan Pertamina pada 1975,'' ujar JB Sumarlin, seperti dikutip dari buku "Pak Harto: The Untold Stories" terbitan Gramedia Pustaka Utama, karya Mahpudi, Kamis (6/2/2020).

Bersama beberapa menteri, dia ditugasi menyelesaikan beban-beban Pertamina. Setelah penyelidikan dan pengumpulan data, ketika dirinya berniat melapor, ada informasi bahwa Presiden Soeharto hendak ke luar negeri dalam waktu lama. Dia pun nekat berangkat ke kediaman Pak Harto.

Baca Juga: JB Sumarlin Wafat, Arsitek Ekonomi Indonesia yang Sempat Dituding Mafia Berkeley

"Sesampainya saya di sana ketika itu baru pukul 07.00 dan beliau sudah hendak berangkat ke Bandara Halim Perdanakusuma. Rupanya Pak Harto memang menantikan laporan itu sehingga beliau mengajak saya ikut semobil dengannya. Tiba di bandara, pengawal yang membukakan pintu mobil Pak Harto terperangah karena yang keluar malah salah satu menterinya," ujarnya.

Meskipun saat itu masalah Pertamina begitu besar-dan setiap perundingan berjalan alot bahkan ada yang berujung di pengadilan-dengan tenang dan sama sekali tidak panik, namun menurutnya, Presiden memberikan taktik dan strategi penyelesaian kasus itu tahap demi tahap.

Akhirnya beberapa beban utang Pertamina bisa dikurangi. Sejumlah proyek yang tidak utama, dihentikan. Sejumlah proyek prioritas dilanjutkan dengan biaya yang masuk akal. Semua perjanjian yang tidak sempurna, mengganggu, dan membebani anggaran keuangan negara, dibenahi dan dinegosiasikan lagi.

Hasilnya, nilai kontrak-kontrak perjanjian sipil dan utang dagang, dari semula USD2,5 miliar bisa diperkecil jadi sekitar USD1 miliar. Kontrak sewa beli tanker samudera dan tanker dalam negeri yang semula membebani Pertamina USD3,3 miliar, dibatalkan dengan biaya USD260 juta.

Untuk menertibkan fungsi pokok Pertamina, Presiden memutuskan proyek penting seperti LNG, Kilang Minyak Cilacap, Pupuk Kaltim, Pipa Gas Cimalaya senilai USD1,9 miliar diteruskan. Sedangkan tiga proyek besar Krakatau Steel, Telekomunikasi, dan Pupuk Kaltim, senilai lebih dari USD2,7 miliar-dialihkan penanganannya kepada instansi pemerintah yang fungsional, sehingga mengurangi kewajiban Pertamina.

Sejak Mei 1975 Presiden Soeharto juga memutuskan semua penerimaan yang berasal dari kontrak karya dan kontrak bagi hasil, disetorkan langsung ke kas negara, tidak lagi melalui Pertamina. Ketegasan, konsistensi, dan kebijaksanaan Presiden dinilai sebagai kunci sukses penanganan krisis Pertamina.

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya