Lebih Berat dari Krisis 1998, Ini Tanda-Tanda Ekonomi Indonesia Alami Resesi

, Jurnalis
Rabu 24 Juni 2020 15:35 WIB
Bisakah Ekonomi RI Resesi Akibat Virus Corona. (Foto: Okezone.com/Shutterstock)
Share :

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani telah dua kali membeberkan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Untuk kuartal II, pemerintah memproyeksi ekonomi akan menyusut sampai minus 3,8%.

Sementara pertumbuhan PDB di kuartal III yang dimulai per Juli diprediksi tumbuh di kisaran 1,4% atau melemah sampai minus 1,6%. Sedangkan kuartal IV ekonomi mulai mencatatkan pertumbuhan 3,4% atau paling sedikit 1%.

Jika pertumbuhan ekonomi minus dalam dua triwulan berturut-turut, maka bisa dikatakan Indonesia mengalami resesi.

Lantas apa itu resesi ekonomi?

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, ekonomi sebuah negara bisa dikatakan mengalami resesi jika terjadi penurunan ekonomi secara eksesif.

Baca Juga: Pemulihan Ekonomi, Sri Mulyani Harus Waspada Gelombang Kedua Covid-19

Menurutnya, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun bila melihat Inflasi Mei hanya 0,07%, atau menjadi indikasi bahwa daya beli masyarakat sedang sangat jatuh.

"Inflasi merupakan kenaikan harga barang-barang dan jasa yang salah satunya disebabkan oleh melonjaknya permintaan. Oleh karenanya, daya beli masyarakat yang lemah bisa menurunkan tingkat inflasi," tuturnya, dilansir dari BBC Indonesia, Rabu (24/6/2020).

Selama ini belanja rumah tangga jelang Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi andalan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun daya beli masyarakat saat Lebaran rendah dan bisa menjadi indikasi bahwa ekonomi pada periode April-Juni tidak tumbuh dan justru melemah, atau minus.

Baca Juga: Tanda-Tanda Ekonomi Indonesia Negatif pada Kuartal II-2020

Resesi akan terjadi jika Indonesia mencatatkan pertumbuhan minus dalam dua triwulan berturut-turut.

"Kalau di triwulan dua, otomatis karena ada pemberlakuan PSBB dan dampak pandemi yang telah berjalan lebih dari dua bulan terhadap daya beli dan konsumsi rumah tangga, yang dampaknya jauh lebih besar daripada di triwulan satu," tuturnya.

"Maka banyak yang memberikan simulasi bahwa (pertumbuhan ekonomi) untuk triwulan dua sudah pasti minus. Cuma minusnya berapa, itu sangat tergantung dari bansos dari pemerintah, seberapa efektif, itu untuk menopang penurunan daya beli masyarakat," tuturnya.

Hanya saja, kata Enny, bila melihat rilis Badan Pusat Statistik di bulan Mei, inflasi sangat rendah hanya 0,07%. Padahal ada hari raya Lebaran.

"Daya beli masyarakat benar-benar drop. Yang kedua, adalah penjualan ritel yang juga minus untuk bulan April dan Mei, sehingga itu yang menyebabkan potensi kita menghadapi kontraksi ekonomi, kalau tidak disebut resesi atau pertumbuhan minus, itu sangat besar," tambahnya.

Terakhir kali Indonesia mengalami krisis ekonomi masif adalah pada krisis moneter 1997-1998. Enny Sri Hartati mengatakan Indonesia membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk bangkit.

"Berdasarkan pengalaman kita menghadapi krisis 97-98 saja tidak cukup lima tahun untuk benar-benar pulih. Dampak pandemi itu jauh lebih berat daripada krisis 97-98," tuturnya.

(Fakhri Rezy)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya