Kedua, sebelum membeli saham perusahaan unicorn, investor ritel tetap bisa melihat prospektus perusahaan di website BEI. Kemudian ketiga, secara taktikal investor ritel bisa melakukan penyesuaian budget sekitar 10-20 persen dari dana investasi untuk belajar dan melihat perkembangan dan mendukung perusahaan teknologi digital di Indonesia.
“Nah, kemudian setelah kita sudah masuk yang 10-20 persen, terus kita lihat performanya setahun. Nanti laporan keuangannya kan sudah kelihatan, kita bisa menilai lagi perusahaan ini ke depannya bagaimana, pengelolaan uang hasil IPO-nya bagaimana, baru kita bisa memutuskan akan menambah dana investasi kita atau tidak,” jelasnya.
Keempat, Theo juga mengingatkan bahwa investasi di perusahaan teknologi pendekatannya melalui prospek masa depan, sehingga investasi di saham unicorn ini merupakan investasi jangka panjang. Kemudian kelima, ia mengatakan bahwa investor ritel dapat melihat perusahaan unicorn melalui ekosistem perusahaannya.
“Kalau teknologi biasanya kita lihat ke industri dan ekosistem. Semakin ready ekosistemnya, maka semakin prospek perusahaan unicorn. Kita tidak bisa hanya melihat laporan keuangan, tapi kita lihat ekosistemnya. Semakin perusahaan ekosistemnya ready dan punya pondasi yang kuat, maka dapat menjadi investasi jangka panjang,” pungkasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)