JAKARTA - Dampak tapering atau pengurangan stimulus bank sentral Amerika Serikat The Fed mungkin tidak akan terlalu besar menggangu pasar saham di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pasalnya, kebijakan tersebut sudah diantisipasi pelaku pasar dan pembuat kebijakan cukup lama, dan kondisi ekonomi makro Indonesia yang lebih baik ketimbang 2013.
Baca Juga: IHSG Sepekan Melemah 0,79%, Transaksi Harian Menyusut 17,40%
"Lalu, mata uang negara berkembang termasuk Indonesia saat ini pada posisi undervalued, dominasi kepemilikan asing di instrumen keuangan Indonesia relatif lebih kecil, dan bantalan yang lebar (yield 10 year government bond)," ujar Direktur Equator Swarna Investama Hans Kwee, Sabtu (30/10/2021).
Namun, lanjut Hans Kwee, yang justru seharusnya diperhatikan adalah peluang The Fed menaikkan suku bunga jauh lebih cepat daripada negara-negara maju yang lain.
Sebanyak sembilan dari 18 pejabat The Fed siap untuk menaikkan suku bunga tahun depan sebagai respons atas kenaikan inflasi yang diperkirakan mencapai 4,2% pada tahun ini, lebih dari dua kali lipat dari target yang ditetapkan 2%.
Baca Juga: IHSG Ditutup Menguat 1% ke 6.591 di Akhir Perdagangan Oktober
"Bila terjadi kenaikan suku bunga di tahun 2022 diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih besar dan lama terhadap pasar keuangan negara berkembang," kata Hans Kwee.
Ekonom Ryan Kiryanto menilai, bahwa sejauh ini kepercayaan investor asing kepada pemerintah Indonesia masih terjaga dengan baik meski belakangan ini tengah hangat isu mengenai tapering yang akan dilakukan The Fed pada November 2021.
"Kita enggak usah khawatir dengan investor SBN (surat berharga negara) atau SUN (surat utang negara) kita, karena paling tidak trust dari foreign investor atau investor asing terhadap pemerintah Indonesia itu masih dijaga dengan baik. Ini dilihat dari porsi kepemilikan surat utang oleh investor asing," ujar Ryan.