JAKARTA - Pemerintah berencana menghentikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulai 2030. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan target nol persen emisi tahun 2060.
Meski ini rencana yang baik, namun ada konsekuensi yang harus dipertimbangkan ke depannya. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meminta pemerintah agar bisa menjamin nasib pekerja di sektor PLTU.
Baca Juga: RI Pensiunkan PLTU Batu Bara, Sri Mulyani Masih Hitung Anggaran
"Bayangkan nanti ketika semuanya untuk energi fosil sudah dihapuskan. Berapa banyak tenaga kerja di sektor PLTU batu bara yang mengalami pengangguran ketika industri EBT tidak menyerap tenaga kerja tersebut, akan dibawa ke mana mereka apakah relokasi atau lainnya," ungkapnya dalam webinar Kemandirian Industri dan EBT, Rabu (29/12/2021).
Baca Juga: 66% Listrik Indonesia Disuplai PLTU Batu Bara, Transisi Energi Gimana?
Mamit mengatakan, jumlah tenaga kerja di sektor energi tidak terbarukan tersebut cukup tinggi. Oleh karenanya, jaminan akan tetap mendapat pekerjaan meski PLTU dipensiunkan harus ada, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.
"Jadi, ini PR (pekerjaaan rumah) besar buat pemerintah kita dalam rangka menuju transisi energi net zero emision di 2060," tandasnya.
Sebelumnya, Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Joko Tri Haryanto mengatakan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara akan pensiun dini (early retire) mulai 2030 hingga 2050.
“Pada tahap awal energy transition mechanism (ETM), PLTU dan PLN (Perusahaan Listrik Negara) akan ikut dalam sistem invest and trade dalam perdagangan karbon yang regulasinya mudah-mudahan segera disahkan melalui Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon,” kata dia.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)