JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan nonsubsidi pada Sabtu (3/9/2022).
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyebutkan bahwa ini sebuah keputusan yang sulit dan menjadi pilihan terakhir buat pemerintah.
Harga Pertalite kini naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000, Solar subsidi dari Rp.5.150 per liter menjadi Rp6.800 dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
"Ada 2 efek yang perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah karena dampak kenaikan BBM ini," ujar Ajib di Jakarta, Minggu(4/9/2022).
Efek pertama adalah tertekannya daya beli dan tingkat konsumsi oleh masyarakat karena pertumbuhan ekonomi sedang dalam tren positif dan hal ini secara signifikan ditopang oleh konsumsi masyarakat.
Diketahui, kuartal kedua tahun 2022 ini pertumbuhan ekonomi mencapai 5,44%.
BACA JUGA:Harga Pertalite Jadi Rp10.000/Liter, Erick Thohir Minta Pertamina Siaga Jaga Pasokan
Serta diproyeksikan oleh pemerintah bisa konsisten di atas 5% secara agregat di akhir 2022.
Untuk mencapai proyeksi ini, daya beli dan konsumsi masyarakat harus terjaga dengan baik.
"Hal kedua yang menjadi potensi masalah adalah tingkat inflasi. Data inflasi pada kuartal kedua sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan karena sudah menyentuh angka 4,94%. Di sisi lain, proyeksi pemerintah, inflasi hanya di kisaran 3% secara agregat sampai akhir tahun 2022. Karena inflasi ini, secara langsung akan menjadi pengurang tingkat kesejahteraan masyarakat," ungkap Ajib.
Dia mengatakan, sebuah capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menjadi tidak bermakna ketika inflasi juga tidak terkontrol.
Karena secara substantif, tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik.
"Efek kenaikan BBM ini akan memberikan dampak kenaikan inflasi karena 2 hal, yaitu karena aspek kesekonomian dan aspek psikologi pasar. Dalam konteks ekonomi, setiap kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP) akan berakibat secara langsung terhadap harga akhir barang atau jasa. Sehingga harga di tingkat konsumen akhir atau masyarakat, akan mengalami kenaikan," tegas Ajib.
Sedangkan dalam konteks psikologi pasar, maka masyarakat yang terbebani konsumsinya karena kenaikan harga-harga.
Hal itu juga akan menaikkan harga produksinya, walaupun tidak ada efek secara langsung atas kenaikan HPP-nya.
Menarik kemudian, ketika pemerintah membuat paket kebijakan dengan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) yang langsung dicairkan pada Bulan September ini.
"Di mana Bansos ini terbagi dalam 6 (paket), yakni Bantuan Subsisdi Upah (BSU), BLT Dana Desa, Kartu Prakerja, BLT Masyarakat, Bantuan Pokok Nontunai (BPNT) dan BLT UMKM. Alokasi bansos ini diambilkan dari dana APBN, yang bersumber dari program penanganan pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)," ucap Ajib.
Menurut Ajib, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melakukan langkah cerdas dengan mekanisme ini.
Karena secara jangka penjang akan mengamankan struktur APBN. Tahun 2023 nanti sudah habis masa berlakunya UU no. 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, sehingga selanjutnya struktur keuangan APBN kembali maksimal defisit 3% dari PDB.
"Setelah dimanjakan dengan UU ini, sehingga 3 (tahun) tahun berturut-turut APBN bisa defisit di atas 3%, tahun 2023 pemerintah harus kembali menyusun APBN dengan lebih prudent. Alternatifnya adalah dengan menambah penerimaan melalui peningkatan pajak, atau mengurangi beban subsidi," terang Ajib.
Ajib menyebutkan, pengurangan subsidi BBM ini adalah langkah rasional yang didorong oleh Kemenkeu untuk mengamankan APBN 2023.
Paket kebijakan pemerintah dengan memberikan bansos, relatif bisa menjawab potensi masalah dalam menjaga daya beli masyarakat.
"Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemerintah akan menjaga inflasi? Ketika belum ada regulasi yang didorong untuk mengendalikan inflasi, maka proyeksi pemerintah akan sulit tercapai. Proyeksi inflasi akan terkerek di atas 4% secara agregat di akhir 2022. Jadi, pemerintah sudah relatif bisa menjaga potensi masalah jangka pendek atas tertekannya daya beli masyarakat, tapi masih ditunggu kebijakan strategis jangka panjang untuk bisa mengendalikan meroketnya inflasi," pungkas Ajib.
(Zuhirna Wulan Dilla)