JAKARTA - Aset kripto yang dimasukkan pada RUU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) menuai pertanyaan soal posisinya yang sebagai komoditi atau mata uang.
Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira pun menyoroti posisi aset kripto tersebut.
Pasalnya pembahasan aset digital ini dimasukkan sebagai ITSK (Inovasi Teknologi Sektor Keuangan).
“Konsekuensi masuknya aset kripto sebagai bagian dari RUU PPSK artinya pengawasan dan regulasi aset kripto berada di bawah OJK dan BI, sementara selama ini aset kripto diatur oleh Bappebti," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (11/10/2022).
BACA JUGA:Ancaman Inflasi, Kripto Disebut Bisa Bantu Ekonomi Indonesia
"Kalau pengawasan diatur oleh OJK padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai cryptocurrency atau mata uang melainkan sebagai komoditi, maka akan terdapat dualisme pengawasan. Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya, apakah sebagai mata uang atau komoditi?," lanjutnya.
Bhima menerangkan, menurut Pasal 205, pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi ke Bank Indonesia dan OJK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Di Pasal 205 ayat 1, disebutkan Bank Indonesia dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya.
Kewenangan BI dan OJK semakin diperkuat dalam Ayat 4 pasal tersebut, yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) Pasal 205 diatur dalam Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya.
Konsekuensi dari pasal-pasal tersebut bertolak belakang dengan regulasi sebelumnya yang menjadikan Bappebti sebagai otoritas yang mengatur dan mengawasi aktivitas aset kripto di Indonesia.
“Dijadikannya BI dan OJK sebagai pihak yang menjadi otoritas atas aktivitas aset kripto juga menjadi pertanyaan mengingat selama ini, BI dan OJK tidak memiliki tugas, fungsi, ataupun infrastruktur untuk mengatur perdagangan komoditi yang selama ini berada dalam ranah otoritas Bappebti,” jelasnya.
Di berbagai negara yang sedang dijadikan sebagai tolok ukur pengaturan aset kripto, peran pengawasan aset kripto berada pada Bursa Berjangka Komoditi.
Sebagai contoh, tambah Bhima, di Amerika Serikat perdagangan aset kripto tunduk di bawah wewenang Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang mengatur perdagangan berjangka komoditi, dan bukan oleh Securities and Exchange Commission (SEC) yang mengatur perdagangan efek.
"Pada Agustus lalu, Senat Amerika Serikat telah mengeluarkan RUU yang dengan tegas mengklasifikasi aset kripto sebagai komoditi dalam naungan CFTC yang secara fungsi dan tanggung jawab serupa dengan Bappebti di Indonesia," tukasnya.
Di samping itu, dia menuturkan, meskipun pasar aset kripto sedang mengalami penurunan harga, namun jumlah investor aset kripto terus menembus 15,5 juta orang dari data terakhir.
Nilai aset kripto juga menembus Rp33,2 triliun per bulan hingga Juli 2022.
Dari hasil riset yang dilakukan CELIOS pada September 2022 mengungkapkan aset kripto berada di posisi No.3 tertinggi dibandingkan jenis investasi lainnya seperti emas, dan surat utang pemerintah (SBN).
“Dengan melihat pasar yang cukup besar, dan memerlukan infrastruktur yang mumpuni, sudah selayaknya Bappebti ikut dilibatkan aktif dalam pembahasan RUU PPSK terkait posisi aset kripto. Bappebti pun saat ini sedang melakukan pembenahan infrastruktur pasar aset kripto, sehingga diperlukan koordinasi dan harmonisasi regulasi dengan OJK maupun BI," katanya.
“Kalau pun aset kripto akan diatur dalam RUU PPSK kami menekankan pengawasan aset kripto sebagai komoditi berada di bawah otoritas yang memang mengatur dan mengawasi perdagangan komoditi, yakni Bappebti, dengan perbaikan-perbaikan sistem pengawasan seperti pencegahan terhadap kebocoran data, peningkatan literasi keuangan bagi investor, hingga kewenangan memberantas praktik penipuan berkedok investasi aset kripto,” pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)