Heri melanjutkan bahwa setelah pandemi Covid-19 merebak, banyak negara tujuan ekspor yang membuat banyak persyaratan, hingga akhirnya biaya pengiriman pun membengkak.
Hal ini dirasa eksportir memberatkan sehingga mereka kesulitan membawa keluar hasil produk laut Indonesia.
"Misalnya negara China, waktu awal pandemik, produk yang dikirim harus bebas dari paparan Covid, mulai dari produknya, kemasan dalam dan luar produk, hingga adanya kewajiban PCR seminggu sekali bagi petugas yang mengantar," ungkapnya.
Berdasarkan data, Vietnam dan China masih menempati urutan pertama negara tujuan eksportir produk laut asal Indonesia.
Hal tersebut lantaran banyak produk Indonesia yang sulit dikembangbiakkan di negara-negara tersebut.
"Kalau Vietnam itu produk laut non-hidup seperti Kepiting, udang mantis, squilla mantis, lobster, dan lain sebagainya. Sementara China untuk produk laut hidup, seperti daging beku kepiting, cumi beku, udang beku, dan lain sebagainya," tuturnya.
Sementara itu Kepala Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu, Pamuji Lestari mengatakan bahwa kondisi ini terjadi bukan hanya di Bandara Soetta saja.
Secara keseluruhan ekspor produk laut Indonesia memang turun karena beberapa hal.
"Memang secara umum turun, bukan hanya melalui Bandara Soetta saja. Salah satu alasannya karena memang ada aturan baru dari negara tujuan ekspor saat pandemi Covid-19 ini," jelasnya.
Meski demikian, nilai impor produk laut ke Indonesia mengalami peningkatan, yakni mencapai 3.868 ton pada tahun 2022. Padahal, pada tahun 2021 jumlah impor hanya 2.970 ton saja.
"Mayoritas impor ikan tuna, karena memang tidak ada di perairan Indonesia, apalagi jumlah restoran Jepang di Indonesia sepertinya meningkat saat pandemik ini," tuturnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)