Hingga kuartal III 2022, Mitratel tercatat total memiliki 35.051 tower telekomunikasi, setelah perseroan mengakuisisi 6.000 tower milik PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) beberapa waktu lalu. Mitratel, lanjut Teddy, memiliki leverage rendah dan tanpa eksposur terhadap risiko nilai tukar mata uang asing. Perseroan cukup tangguh terhadap eksposur makro ekonomi dengan catatan net-debt to EBITDA 1,7 kali tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 100% dan seluruh utang dalam mata uang rupiah.
Dalam laporan riset, BRI Danareksa Sekuritas mencatat, pemenang di industri menara telekomunikasi adalah pihak yang mampu melakukan akuisisi. Saat ini, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) atau SMN memiliki rasio utang bersih terhadap EBITDA sebesar 4 kali. Ini membuat ruang perseroan untuk mengakuisisi menara secara terbatas.
“Kami tidak berharap margin EBITDA SMN dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) bisa membaik, karena tenancy ratio mencapai 1,8 kali,” tulis sekuritas itu.
Sementara itu, tenancy ratio Mitratel lebih rendah, hanya 1,44 kali, sehingga potensi kolokasi ke depan masih besar. Selain itu, tambahan 6.000 menara dari Telkomsel sangat atraktif, karena bisa menarik satu atau dua tambahan penyewa. Di luar itu, BRI Danareksa menilai, neraca Mitratel sangat solid karena rasio utang terhadap EBITDA lebih rendah dibandingkan pesaing. Pada titik ini, emiten berkode saham MTEL tersebut akan menjadi pemenang divestasi 1.800 menara Indosat, yang kabar itu tengah berembus kencang.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)