2. Bisa dapat dampak serius jika DPR AS tolak plafon utang
Jika permintaan pemerintah AS untuk menaikkan plafon utang ditolak oleh DPR AS, lanjutnya, maka akan ada dampak serius terhadap aktivitas ekonomi negara tersebut yang berujung pada keadaan resesi ekonomi. Keadaan itu juga pasti memberikan efek terhadap perekonomian Indonesia mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar.
“Sepertinya belum ada deal dari pemerintah AS dengan DPR terkait apa yang harus dilakukan. Yang satu minta plafonnya dinaikkan, batasannya dinaikkan tanpa mengurangi berbagai macam penyesuaian untuk pengetatan anggaran, tapi yang satunya mungkin menerima untuk dinaikkan, tapi kemudian minta cukup besar sekali pemotongan anggaran untuk efisiensi,” ungkapnya.
3. Penyebab utang AS sebab pembiayaan tinggi untuk penanganan pandemi COVID-19
Salah satu penyebab pembengkakan utang AS adalah besaran pembiayaan yang tinggi dikeluarkan untuk penanganan pandemi COVID-19, lalu berimbas terhadap perekonomian Negeri Paman Sam, dan mendorong para pemangku kepentingan negara tersebut menyepakati untuk menaikkan plafon utang pada tahun 2021.
Memasuki tahun 2023, keadaan serupa terjadi kembali di AS kendati Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu sudah mencapai 121% yang artinya masih mampu mengimbangi utang AS.
“Namun, tentu saja karena ini sudah melampaui dari threshold yang sudah ditetapkan oleh pemerintah mereka, sehingga yang harus dilakukan adalah upaya antara untuk menurunkan atau menaikkan. Kalau menaikkan kembali, tentu saja secara politik mungkin, tapi mungkin juga akan menimbulkan persepsi di dalam konteks global terhadap surat utang AS sendiri karena ratingnya juga turun,” ucap Eko.
4. Disebut bisa berdampak imbal hasil obligasi Indonesia
Kegagalan bayar utang Amerika Serikat disebut bakal berdampak pada imbal hasil obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun.
Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto menyebut imbal hasil obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun bisa berada di angka 6,5% .
Menurutnya apabila pemerintah Amerika gagal bayar kepada pemegang surat utang negaranya, maka investor akan cenderung melarikan utangnya ke negara-negara yang mempunyai kondisi ekonomi lebih stabil.
"Dampaknya bisa ke pasar kita, untuk obligasi tenor 10 tahun itu sekitarnya 6,5% bunganya atau yieldnya, itu bisa masuk ke negara berkembang termasuk Indonesia," ujar Eko dalam Market Review.
5. AS belum punya sejarah gagal bayar utang
Namun demikian menurut Eko, belum pernah sejarahnya Amerika Serikat sampai gagal bayar utang.
Sebab Negara Paman Sam itu cenderung melakukan konsolidasi antara Pemerintah Pusat dan Senat untuk menaikan plafon pinjaman.
"Katakanlah itu terjadi (gagal bayar) maka rating surat utang Amerika makin turun dan peminatnya semakin turun, dan dari situ mereka akan mencari negara yang bisa menawarkan return lebih baik dan rating lebih baik," sambungnya.
6. AS sudah capai batas peminjaman
Lebih lanjut, Eko menjelaskan Amerika Serikat sendiri telah mencapai batas pinjaman sebesar USD31,4 triliun pada bulan Januari 2023.
Tingginya utang tersebut justru dikhawatirkan pada perekonomian global, karena hingga saat ini Amerika sendiri masih menjadi kiblat perekonomian dunia.
"Meskipun Amerika biasanya mereka lebih berkompromi dengan menaikan batas utang, sehingga tidak akan jadi gagal bayar, dan itu belum pernah dalam sejarahnya Amerika. Sepertinya tapi secara politik tidak akan gagal bayar," pungkasnya.