JAKARTA - PT Pertamina (Persero) hanya menjual produk Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan kualitas terbaik. Di mana BBM Pertalite akan dihapus tahun depan.
Berdasarkan aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa BBM yang boleh dijual di Indonesia sejatinya paling minim yakni 91.
Rencana tersebut pun didukung Pengamat Energi Komaidi Notonegoro. Pasalnya hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri KLHK mengenai baku mutu lingkungan salah satunya adalah mengenai emisi buang dari transportasi yang mengharuskan minimal BBM yang digunakan RON 91.
“Kalau dari kerangka regulasi yang ada saya kira sudah sesuai ya, karena memang Peraturan Menteri KLHK mengenai baku mutu lingkungan salah satunya adalah mengenai emisi buang dari transportasi itu menghendaki minimal BBM yang digunakan adalah di RON 91, artinya kalau Pertalite kan 90 ya. Jadi kalau di moving ke 92 saya kira sudah sesuai sejalan amanat Peraturan Menteri tersebut,” ujar Komaidi kepada Okezone, Jumat (8/9/2023).
Maka itu, saat ini sedang dikaji peningkatan kualitas BBM Pertamina jenis Pertalite dengan RON 90. Nantinya kualitas BBM subsidi tersebut tingkatkan jadi RON 92 yang ramah dengan lingkungan.
Pertalite nantinya dicampur dengan etanol sebanyak 7% sehingga Research Oktan Number akan naik dari yang semula 90 ke 92. Produk ini pun dinamai Pertamax Green 92.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan harga dari BBM hasil campuran Pertalite dan Etanol lebih mahal. Walaupun mahal, Menteri BUMN itu memastikan Pertamax Green 92 menjadi aksi nyata untuk mengatasi polusi di DKI Jakarta dan wilayah lain di Indonesia.
"Kan sudah diomongin sama Menteri ESDM, Pertamina juga sudah bicara. Kan waktu itu Pertamina bilang ini polusi. Kalau di negara lain ketika kendaraan masih dipakai, untuk mengurangi polusinya memakai apa? Biofuel, betul nggak? Kan itu. Kayak di Brazil, campuran bioetanol-nya itu masuk. Tapi kan harganya lebih mahal," ujar Erick.
Pendapat lain juga ditambahkan oleh Komaidi, dirinya berpendapat bahwa pengganti dari BBM jenis Pertalite ini tentu akan mahal dan jika dikehendaki harga belinya sama harus ada subsidi yang dialokasikan.
“Nah, masalahnya nanti tentu ada di daya beli masyarakat sama kira-kira kemampuan fiskalnya seperti apa. Karena tentu lebih mahal jadi kalau dikehendaki daya belinya sama berarti harus ada subsidi yang dialokasikan. Nah, ini yang kira-kira perlu dihitung oleh pemerintah, kira-kira memerlukan anggaran seberapa besar,” kata Komaidi.