JAKARTA - Bioteknologi modern membawa inovasi dalam pengembangan tanaman dengan memanfaatkan teknik rekayasa genetik. Teknik ini memungkinkan peneliti memasukkan sifat-sifat yang diinginkan ke dalam tanaman, sehingga menghasilkan tanaman dengan sifat unggul.
Beberapa teknik dalam bioteknologi modern meliputi variasi sumaklonal, fusi protoplas, rekayasa genetik, dan genom editing.
"Dalam bioteknologi modern, rekayasa genetik memungkinkan kita untuk memasukkan satu atau beberapa sifat yang diinginkan ke dalam individu baru, sehingga individu tersebut memiliki sifat yang diinginkan," ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Hortikultura BRIN, Tri Joko Santoso, Rabu (31/1/2024).
Dibandingkan dengan metode persilangan konvensional, rekayasa genetik memiliki keunggulan karena hanya memasukkan sifat yang diinginkan tanpa membawa sifat-sifat yang tidak diinginkan. Hal ini membuat proses pengembangan tanaman menjadi lebih efisien dan terarah.
Dalam proses rekayasa genetik, terdapat tiga komponen utama yang diperlukan. Pertama, sumber gen atau DNA yang ingin dimasukkan ke dalam individu baru harus diisolasi dari organisme lain, seperti tanaman, bakteri, fungi, atau virus. Kedua, proses transfer gen itu sendiri dilakukan dengan menggunakan alat atau media tertentu, seperti penembakan partikel atau alat lainnya. Ketiga, setelah gen berhasil dimasukkan, dilakukan deteksi dan perbaikan jika diperlukan untuk memastikan bahwa gen tersebut telah terintegrasi dengan baik dalam individu baru.
"Terdapat beberapa teknik yang digunakan dalam transfer gen ke tanaman. Beberapa teknik yang digunakan secara langsung antara lain adalah penembakan partikel dan mikroinjeksi. Sedangkan teknik yang tidak langsung melibatkan penggunaan vektor bakteri yang disebut Agrobacterium tumefaciens," ujarnya.
Dalam teknik penembakan partikel, gen yang diinginkan dikombinasikan dengan vektor plasmid dan dikemas dalam partikel emas. Partikel emas ini kemudian ditembakkan ke dalam sel target tanaman. Setelah itu, melalui proses in vitro, sel target tersebut akan berkembang menjadi tanaman GM yang diinginkan.
Selain itu, terdapat juga teknik mikroinjeksi, di mana gen yang diinginkan disuntikkan langsung ke dalam sel tanaman target. Teknik ini membutuhkan keahlian dan peralatan khusus untuk dilakukan.
Sedangkan dalam teknik menggunakan vektor Agrobacterium tumefaciens, gen yang diinginkan dikombinasikan dengan vektor tersebut. Vektor ini kemudian dicampur dengan sel tanaman target. Melalui proses infeksi dan transformasi, gen yang diinginkan akan masuk ke dalam sel tanaman dan mengintegrasikan dirinya ke dalam genom tanaman tersebut. Selanjutnya, melalui proses in vitro, sel target tersebut akan berkembang menjadi tanaman GM yang diinginkan.
Sebagai contoh, dalam pengembangan tanaman jagung Bt (Bacillus thuringiensis), gen yang berasal dari bakteri Bt yang memiliki sifat sebagai toksin bagi serangga tertentu dimasukkan ke dalam tanaman jagung. Ketika tanaman jagung ini dimakan oleh serangga target, protein toksin tersebut akan membunuh serangga tersebut, sehingga tanaman jagung menjadi tahan terhadap serangan serangga tersebut.
Pengembangan tanaman GM juga dilakukan dalam berbagai penelitian di Indonesia. Misalnya, pengembangan tanaman GM yang tahan terhadap hama dan penyakit seperti Hawar Daun Bakteri pada padi. Penelitian ini dilakukan oleh Kementerian Pertanian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen).
Tanaman transgenik atau PRG (Produk Rekayasa Genetika) memiliki beberapa keuntungan. Pertama, tanaman transgenik dapat mengurangi penggunaan herbisida dan pestisida, karena beberapa tanaman transgenik telah dimodifikasi untuk tahan terhadap serangan hama dan penyakit tertentu. Kedua, tanaman transgenik juga dapat mengurangi penggunaan pupuk, seperti pada padi Padin yang efisien dalam memanfaatkan nitrogen.
Ketiga, tanaman transgenik dapat memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim, seperti toleransi terhadap kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi.
"Keempat, tanaman transgenik dapat meningkatkan produksi, seperti kentang transgenik yang menghasilkan panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan kentang non-transgenik”, ujar Tri.
Untuk pengadopsian tanaman transgenik di Indonesia masih perlu diatur dalam regulasi yang sesuai. Saat ini, beberapa produk transgenik seperti kedelai dan tempe dari kedelai transgenik telah digunakan secara luas di Indonesia.
Namun, untuk tanaman transgenik lainnya, seperti kentang transgenik, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait keamanan hayati, pakan, dan lingkungan sebelum diadopsi secara luas.
(Feby Novalius)