MEDAN - Rupiah yang melemah belakangan ini kerap dikaitkan dengan krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada 1997/1998 ataupun krisis tahun 2008. Di mana saat itu yang menjadi acuan terjadinya krisis salah satunya adalah pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika (US Dolar) yang menyentuh angka Rp16 ribu
Ekonom Gunawan Benjamin mengatakan, situasi saat ini berbeda. Rupiah yang melemah hingga menyentuh Rp16 ribu bukan indikator terjadinya kriris.
Walaupun kinerja mata uang Rupiah tetap menjadi salah satu indikator yang bisa menjelaskan situasi ekonomi makro di tanah air.
Menurut Gunawan, jika berbicara resesi atau mungkin krisis ekonomi, di masa pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu Indonesia pernah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif 2,07% dan menunjukkan perekonomian nasional tengah masuk jurang resesi. Pada saat itu Rupiah juga sempat melemah hingga menyentuh Rp16.300-an per USD.
Namun pelemahan Rupiah tersebut hanya kejutan (shock) sesaat di bulan Februari, seiring ditemukannya kasus pasien Covid-19 yang menjadi titik permulaan pandemi covid 19 di tanah air. Selanjutnya Rupiah berbalik menguat ke kisaran level Rp13.840 per USD pada desember 2020.
"Padahal kala itu pertumbuhan ekonomi di kuartal ke IV 2020 mencatatkan kontraksi atau resesi," sebut Gunawan, Sabtu (22/6/2024).
Gunawan menjelaskan, Rupiah bisa saja menguat seandainya The FED atau Bank Sentral AS benar-benar memangkas atau setidaknya memberikan gambaran kapan pemangkasan besaran bunga acuannya. Sikap The FED yang masih belum jelas kapan akan mulai memangkas bunga acuan, menjadi salah satu pemicu menguatnya US Dolar belakangan ini.
"Jadi US Dolar yang diuntungkan dengan kebijakan Bank Sentral AS tersebut memaksa Rupiah untuk berada pada titik keseimbangan baru (melemah). Walaupun kalau berkaca pada hitung-hitungan moneter hal tersebut terlihat lumrah terjadi," tegasnya.
Akan tetapi, dampak dari depresiasi Rupiah terhadap masyarakat tidak bisa dianggap enteng. Karena pelemahan nilai tukar Rupiah bisa membuat harga kebutuhan hidup sehari-hari mengalami kenaikan. Baik kebutuhan pokok seperti Beras, BBM, Bawang hingga kebutuhan produk olahan lainnya seperti mi instan dan banyak lagi.
"Disinilah pentingnya sinergi antar lembaga pemerintah, sehingga upaya untuk mengendalikan rupiah bukan hanya ada di pundak BI saja. Belakangan ini Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kepala OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan telah dipanggil Presiden terkait dengan pelemahan mata uang Rupiah kan," tukas Gunawan.
Untuk mengendalikan Rupiah, sebtu Gunawan, saat ini perlu dijaga kinerja ekspor (neraca dagang) yang belakangan mengalami tekanan seiring dengan memburuknya kondisi ekonomi Negara lain (mitra dagang). Kita perlu memastikan bahwa ketergantungan impor harus dikendalikan dalam taraf aman untuk menjaga neraca pembayaran.
"Kita perlu memastikan ekonomi tetap tumbuh dengan anggaran fiskal yang ada," pungkasnya.
Mitigasi dari sisi eksternal juga tak kalah penting. Seperti upaya untuk memitigasi dampak perang di negara lain atau perlambatan ekonomi maupun resesi di negara lain agar tidak merembet ke tanah air.
"Masih ada banyak lagi hal lain yang harus diakukan secara bersama. Jadi bukan mengacu kepada pelemahan Rupiah saja untuk menjelaskan situasi ekonomi di tanah air. Walaupun kita sepakat bahwa Rupiah yang stabil adalah yang paling aman bagi ekonomi nasional," tutupnya.
(Feby Novalius)