JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia mampu menunjukkan resiliensinya di tengah ketidakpastian global yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I mencapai 5,1%.
Pertumbuhan tersebut juga diiringi dengan peningkatan kualitas, yang terlihat dari penciptaan lapangan kerja yang cukup tinggi sehingga mampu menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ke level di bawah prapandemi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun ini juga didukung oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT), masing-masing tumbuh 4,9% dan 24,3% (yoy).
Pengeluaran konsumsi pemerintah (PKP) meningkat 19,9% (yoy) berkat kinerja belanja pegawai dan berbagai program sosial.
Investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh sebesar 3,8% (yoy), didorong oleh belanja modal pemerintah terkait infrastruktur dan keberlanjutan hilirisasi sumber daya alam.
Namun di tengah pertumbuhan ekonomi yang kuat, aktivitas merger dan akuisisi diperkirakan mengalami peningkatan signifikan pada tahun ini. Hal ini sejalan dengan membaiknya proyeksi ekonomi global dan adanya normalisasi suku bunga.
Peluang utama untuk merger dan akuisisi diprediksi akan muncul di beberapa sektor, seperti teknologi dan telekomunikasi, keuangan, energi terbarukan, kesehatan, serta perusahaan bioteknologi.
Di Indonesia sendiri, tren merger dan akuisisi terus menunjukkan peningkatan, yang merupakan cerminan adaptasi industri terhadap perubahan yang cepat dan dinamis.
Advisory Partner Grant Thornton Indonesia David Liputra Herlambang menilai, strategi merger dan akuisisi menjadi alternatif solusi yang dapat meningkatkan nilai perusahaan di tengah dinamika bisnis yang semakin cepat dan menantang.
“Para dealmaker perlu memikirkan strategi yang tepat untuk memberikan return yang optimal kepada para nasabah korporasi yang ingin memanfaatkan momentum M&A,” ujarnya, Kamis (2/8/2024).