JAKARTA - Tarif cukai rokok dipastikan akan naik kembali mulai 1 Januari 2025. Hal ini akan berpengaruh terhadap harga jual rokok di pasaran. Indikasi tersebut menguat usai DPR RI merestui Kementerian Keuangan untuk memberlakukan tarif baru cukai rokok tahun depan.
Untuk itu, kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari segi finansial dan inflasi, tetapi juga dari dampak pada aspek pekerja.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan daya beli masyarakat harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menetapkan tarif cukai rokok tahun depan. Jika besaran tarifnya terlampau tinggi, justru akan membuka ceruk pasar yang makin luas bagi rokok ilegal lantaran gap harga dengan rokok legal kian melebar.
Dalam konteks ini, pilihan yang rasional jika konsumen memilih rokok yang lebih terjangkau sesuai dengan daya belinya, termasuk rokok ilegal. Dikutip dari data Kementerian Keuangan, produksi rokok ilegal mencapai 7 persen dari total rokok di Indonesia per tahun, maraknya rokok ilegal itu seiring dengan penurunan produksi rokok.
“Kalau terlalu tinggi maka akan ada gap harga beberapa jenis golongan rokok (khususnya SPM golongan I dan SKM golongan I) dengan golongan dibawahnya sehingga rokok ilegal akan muncul,” ujar Tauhid pada keterangan tertulisnya, Kamis (14/8/2024).
Tauhid mengimbau agar pemerintah juga bisa memberlakukan kembali kebijakan tarif multiyears. Menurutnya, terobosan ini memungkinkan kenaikan harga bisa diprediksi oleh pelaku usaha dan disesuaikan dalam jangka waktu 2 tahun serta implikasi sosial politiknya bisa diredakan.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan cukai nasional sebesar Rp101,79 triliun pada semester I-2024, menurun 3,88% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Hal tersebut lantaran dipicu penurunan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 4,43% yang merupakan kontributor utama penerimaan cukai. Penurunan tersebut pun dinilai akibat terjadi fenomena downtrading, yakni produksi rokok lebih banyak dihasilkan oleh pelaku usaha golongan III yang memiliki tarif cukai lebih rendah.
(Taufik Fajar)