Media China Soroti Kerja Paksa di Pabrik Smelter Nikel Indonesia, Ada Fakta Mengejutkan

Muhammad Akbar Malik, Jurnalis
Selasa 24 September 2024 10:22 WIB
Media China Soroti Kerja Paksa di Pabrik Smelter Nikel Indonesia (Foto: SCMP/AFP)
Share :

JAKARTA - Industri nikel Indonesia diawasi ketat oleh Amerika Serikat (AS) karena dianggap sebagai kerja paksa. Menurut para analis, seharusnya ini menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia agar mencapai kesepakatan soal mineral dengan Washington.

Laporan terbaru Departemen Tenaga Kerja AS mengenai "Global State of Child and Forced Labour" mengklasifikasikan nikel Indonesia sebagai produk dari praktik eksploitatif. Demikian mengutip berbagai laporan berita dan penelitian dari organisasi non-pemerintah.

Hal ini pun diangkat oleh media asing asal Hong Kong South China Morning Post (SCMP) yang mengungkap hasil laporan terbaru Departemen Tenaga Kerja AS tersebut.

“Kerja paksa mencemari rantai pasok mineral penting, termasuk aluminium dan polisilikon dari China, nikel dari Indonesia, dan kobalt, tantalum, dan timah dari Republik Demokratik Kongo,” kata Wakil Menteri Urusan Perburuhan Internasional Thea Lee saat konferensi pers 5 September dilansir SCMP, Jakarta, Selasa (24/9/2024).

“Para pekerja menghadapi pelanggaran seperti kerja lembur yang berlebihan dan tidak disengaja, pekerjaan yang tidak aman, upah yang tidak dibayar, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, dan jeratan utang," sambungnya.

Laporan setebal 330 halaman tersebut juga menyoroti penderitaan pekerja China yang direkrut secara curang di pabrik peleburan nikel di Indonesia, mengungkap isu-isu seperti pemotongan gaji secara sewenang-wenang, jam kerja yang lebih panjang, penyitaan paspor, dan kekerasan fisik dan verbal sebagai hukuman.

“Indikator lain dari kerja paksa termasuk pembatasan pergerakan, isolasi, pengawasan terus-menerus, dan kerja lembur yang dipaksakan, semuanya dilaporkan merupakan praktik umum dalam produksi nikel,” kata laporan itu.

Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS mengidentifikasi penipuan perekrutan pekerja China oleh perusahaan pertambangan nikel yang berafiliasi dengan China’s Belt and Road Initiative di Indonesia sebagai bentuk perdagangan manusia dalam laporan Perdagangan Manusia untuk tahun 2022 dan 2023.

Laporan tahun lalu menemukan bahwa dari 333 pekerja China yang disurvei pada tahun sebelumnya hanya 27% yang memiliki izin kerja yang sah, sementara 23% melaporkan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan tempat kerja mereka, dan tujuh pekerja meninggal di tempat kerja tanpa penjelasan.

"Laporan AS ini seharusnya peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengawasan terhadap pabrik peleburan nikel yang sudah beroperasi maupun yang baru," kata peneliti di Indo-Pacific Development Centre Lowy Institute di Australia, Hilman Palaon.

Meskipun tidak ada dampak hukum atau peraturan langsung dari temuan ini, laporan Departemen Tenaga Kerja AS dianggap sebagai sumber resmi yang mempengaruhi kebijakan dan keputusan bisnis, katanya.

“Dimasukkannya nikel Indonesia dalam laporan ini dapat membahayakan ambisi Indonesia untuk mendapatkan peran penting dalam rantai pasokan mineral penting Amerika.”

Aktivis buruh dan lingkungan hidup mengkritik pabrik peleburan nikel milik China di Indonesia karena standar kesehatan dan keselamatan yang buruk, menurut Palaon dari Lowy Institute, yang mengatakan bahwa para pekerja telah mengajukan banyak keluhan tetapi hanya menerima sedikit tanggapan.

Zakki Amali, manajer penelitian di Trend Asia, sebuah organisasi yang berbasis di Jakarta yang mengadvokasi perekonomian yang lebih hijau, mengatakan bahwa laporan Departemen Tenaga Kerja akan “membuat pembeli nikel di AS lebih sadar akan nikel berdarah dari Indonesia”.

Dari tahun 2015 hingga 2023, pihaknya mencatat 93 insiden di kompleks nikel Indonesia, yang mengakibatkan 91 kematian dan 158 cedera. Tahun ini saja, terdapat 17 insiden antara bulan Januari dan Juni, yang menyebabkan delapan kematian dan 63 cedera di pusat nikel seperti Morowali dan Teluk Weda.

Ledakan di pabrik peleburan di Morowali yang dijalankan oleh PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel milik China pada bulan Desember menewaskan 21 pekerja, termasuk delapan warga negara China. Dua pengawas China telah didakwa melakukan kelalaian yang menyebabkan kematian atau cedera serius.

Ada budaya di pabrik peleburan di Indonesia yang menyalahkan pekerja atas kecelakaan, kata aktivis hak-hak buruh Alfian Al Ayyubi Pelu dari kelompok advokasi pekerja Sembada Bersama Indonesia yang berbasis di Bogor. Namun dia berpendapat bahwa masalah sebenarnya terletak pada kegagalan “sistemik” terkait keselamatan kerja dan kurangnya pengawasan pemerintah.

“Beberapa serikat pekerja telah meminta adanya pengawasan independen, untuk menyelidiki kecelakaan kerja, namun mereka (perusahaan) tidak mengabulkan permintaan tersebut,” kata Alfian. “Tidak ada mekanisme pihak ketiga yang mendisiplinkan smelter nikel seperti di industri sawit, pengawasan hanya dilakukan oleh pemerintah dan LSM.”

Pekerja Indonesia, seperti rekan-rekan mereka di China biasanya bekerja berjam-jam untuk mendapatkan penghasilan sekitar Rp5 juta per bulan. Meskipun gaji pokok mereka sebanding dengan upah minimum di Jakarta, biaya hidup yang lebih tinggi di daerah seperti Morowali dan Halmahera menjadikan kerja lembur penting untuk stabilitas keuangan, katanya.

Alfian juga menunjukkan bahwa pekerja Indonesia menikmati perlindungan hukum yang lebih besar dibandingkan pekerja China. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh China Labour Watch pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia tidak mencakup lingkungan tempat tinggal para pekerja China, sehingga membuat mereka rentan tanpa dukungan dari serikat pekerja independen, bahkan ketika mereka menyaksikan kondisi yang mengerikan.

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya