Disamping hak yang diberikan, tentu ada kewajiban yang harus dilaksanakan, salah satunya adalah kewajiban perpajakan.
Ani Natalia menegaskan bahwa sebelum menjalani kewajiban perpajakan, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai status subjek pajak, apakah subjek pajak luar negeri atau sudah menjadi subjek pajak dalam negeri. Sebab status subjek pajak inilah yang akan menentukan ada atau tidaknya, serta bagaimana kewajiban perpajakan harus dilakukan.
“Di Indonesia sendiri, WNA dan WNI yang menikah banyak melakukan perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement) yang menyebabkan pemisahan hak dan kewajiban masing-masing pihak, terutama dalam hal aset, utang atau hak waris. Dengan demikian ada konsekuensi untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah.” pungkasnya.
Selain itu, Dendi Amrin memaparkan aspek perpajakan orang pribadi warga negara asing (WNA) yang menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN). Merujuk pada Pasal 2 UU PPh s.t.d.t.d. Pasal 111 UU Cipta Kerja, orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi baik WNI maupun WNA yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Dendi menjelaskan lebih lanjut bahwa setidaknya ada beberapa konsekuensi dari status SPDN tersebut. Pertama, basis pengenaan pajaknya berdasarkan pada penghasilan neto. Kedua, penghasilan yang harus dilaporkan adalah seluruh penghasilan yang bersumber dari dalam dan luar negeri. Ketiga, SPDN dikenai pajak berdasarkan pada tarif Pasal 21 UU HPP. Keempat, melakukan mekanisme pelaporan kewajiban perpajakannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT).
Dengan adanya webinar ini, diharapkan WNA yang tinggal dan berusaha di Indonesia semakin memahami kewajiban perpajakan mereka dan dapat menjalankannya dengan baik.
Kanwil DJP Jakarta Khusus dan APAB berkomitmen untuk terus memberikan edukasi dan pendampingan guna menciptakan kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan WNA di Indonesia
(Taufik Fajar)