Menurutnya, Presiden Trump menganggap bahwa Kanada, Meksiko, dan China menjadi penyebab trade deficit yang besar bagi Amerika. Kondisi ini harus disikapi serius, namun disisi lain juga memanfaatkan peluang.
Indonesia mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat. Fasilitas ini berupa pengurangan tarif bea masuk untuk sejumlah produk Indonesia.
“Dengan fasilitas GSP kita harus bisa menjaga trade deficit dan intensitas hubungan dagang dengan Amerika. Kalau kita tidak menjaga trade deficit tadi, bisa saja kita akan dikenakan tarif impor yang tinggi seperti Kanada, Meksiko, dan China. Pengenaan tarif impor yang tinggi bagi produk China, tentu menjadi bisa menjadi peluang apabila kita bisa menjadi eksportir terhadap produk-produk yang terkena tarif impor tinggi,” ujarnya.
Mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (2019-2021) ini juga menyampaikan prediksi pertumbuhan ekonomi global. Menurutnya, sebelum Presiden Trump terpilih, sudah muncul prediksi dari World Bank maupun IMF bahwa perekonomian global akan mengalami tekanan.
“Perekonomian global yang biasanya tumbuh sekitar tiga persen atau lebih, diperkirakan tidak akan bergerak jauh. Jadi belum ada prospek yang cerah bahwa perekonomian global akan tumbuh 3,5-4 persen,” ungkapnya.
Apalagi di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Korea, maupun Eropa Barat hanya sekitar dua persen. Bambang mengatakan, harapan pertumbuhan ekonomi dunia justru diharapkan datangnya dari kelompok negara-negara Emerging Market and Developing Economy (EMDE), seperti China dan Indonesia.