Di antara deretan aksara Jawa Kuno yang terukir di Prasasti Sangguran, terselip kalimat-kalimat yang tak biasa: sebuah kutukan, berisi peringatan berdarah:
"Potong hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya, cabut ususnya, makan dagingnya, minum darahnya, dan habisi dia tanpa ampun."
Tulisan atau kutukan sakral itu lazim digunakan dalam prasasti-prasasti abad ke-10 di Jawa untuk melindungi wilayah atau benda suci.
Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan pada Juni 2024 oleh ilmuwan Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan, kutukan ini bukan hanya unsur budaya, tetapi bagian dari sistem hukum dan kekuasaan spiritual masa itu.
"Kutukan dalam prasasti seperti ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian wilayah dan menjadi peringatan bagi siapa pun yang melanggar," tulis tiga ilmuwan dari Prancis, Australia dan Indonesia itu.
Mereka yang terlibat dalam pemindahan batu ini pun tak luput dari kejadian tragis.
Colin Mackenzie, pejabat militer yang mengawasi pengangkatan batu dari Jawa, meninggal dalam perjalanan sebelum sempat memajangnya.
Gubernur jenderal di Hindia Timur pada 1811 hingga 1816, Thomas Stamford Raffles yang memerintahkan pengiriman batu ke India untuk diberikan kepada Lord Minto kehilangan empat anak, istrinya meninggal di usia muda, dan ia sendiri meninggal karena stroke pada usia 45 tahun.
Raffles dimakamkan di St. Mary's Church, Hendon, London, namun makamnya sempat tidak ditemukan selama bertahun-tahun karena gereja itu direnovasi dan sempat terbakar. Baru belakangan diketahui bahwa jenazahnya memang dimakamkan di situ.
Saat meninggal, Raffles sedang berada dalam tekanan berat, secara keuangan maupun pribadi. Semua ini kerap dikaitkan dengan "kutukan" dalam cerita seputar Prasasti Sangguran.
Bahkan Bupati Malang kala itu, Tumenggung Suradimanggala—yang konon mengizinkan pengambilan batu tersebut, dilaporkan meninggal tak lama setelah kejadian.
Nama Tumenggung Suradimanggala yang muncul dalam berbagai catatan kolonial juga disebut dalam arsip perjalanan Colin Mackenzie dan timnya saat berada di wilayah Malang pada 1812.
Kala itu, mereka melakukan survei dan inventarisasi artefak di bawah perintah Stamford Raffles.
Adam Bobbette, ahli geologi politik dari University of Glasgow, mengatakan di antara sekian banyak informasi yang terkandung dalam prasasti ini—tentang pajak, pemujaan dewa, hingga batas-batas wilayah suci—satu bagian yang menarik perhatian adalah menu makan malam.
Prasasti ini mencatat adanya pesta besar dan menu makanan rujak dan dodol termasuk di dalamnya.
Bagi Adam Bobbette, bagian ini adalah jendela kecil untuk memahami kebiasaan makan masyarakat Jawa abad ke-10.
"Ini menunjukkan ada yang tak berubah. Orang di abad ke-10 juga suka rujak dan dodol," kata Adam.
Bagi sejarawan Peter Carey, penempatan Prasasti Sangguran dan Prasasti Pucangan di Kalkuta—yang dikirim pada waktu yang bersamaan— "sangat tidak layak".
"Yang satu [Prasasti Sangguran] di taman terbuka, cuaca Skotlandia itu keras, hujan es, angin, lembap. Yang satu lagi [Prasasti Pucangan] di gudang [yang] bocor di Kalkuta. Ini prasasti sejarah besar, bukan batu biasa." kata Peter menekankan alasan lain pemulangan prasasti ini.