JAKARTA - Indonesia dinilai memiliki beberapa jalan potensial di tengah memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) - China. Hal ini juga sebagai antisipasi dampak dari tarif dagang yang diberlakukan Presiden Trump.
Menurut Wakil Bendahara Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Izhari Mawardi, pertama, Indonesia harus melakukan upaya bersama mengurangi hambatan perdagangan, baik dengan Amerika Serikat maupun negara-negara lain. Jika memungkinkan, perlu membuka pasar bagi masyarakat internasional dengan menurunkan langkah-langkah perdagangan proteksionis.
Kedua, Indonesia harus mengantisipasi penurunan perdagangan AS dengan mengidentifikasi tujuan ekspor alternatif dan mengurangi ketergantungan pada impor.
"Realokasi ekspor berbasis komoditas ke pasar berkembang lainnya dapat membantu menstabilkan kinerja perdagangan secara keseluruhan," ujarnya, Rabu (23/4/2025).
Ketiga, reformasi fiskal yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan ketersediaan cadangan kas yang memadai selama guncangan ekonomi. Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2025 mengesahkan pemotongan belanja awal sebesar Rp306 triliun. Hal ini harus diikuti oleh gelombang penyesuaian kedua dan ketiga untuk memperkuat penyangga keuangan dan menjaga stabilitas ekonomi makro.
Keempat, Indonesia dapat mencontoh respons Tiongkok terhadap volatilitas pasar. Dana kekayaan negara Danantara, Otoritas Investasi Indonesia, dan Badan Usaha Milik Negara harus mempertimbangkan untuk meningkatkan kepemilikan ekuitas mereka di BEI. Pasar saham yang stabil dan berkembang meningkatkan kepercayaan investor, yang pada gilirannya dapat mendukung rupiah dan meredamnya terhadap pelemahan dolar.
"Seiring terus bergesernya keseimbangan kekuatan global, perdagangan akan semakin digunakan sebagai alat kenegaraan. Indonesia harus tetap gesit dan strategis, menyadari risiko, tetapi juga peluang yang tertanam dalam lanskap ekonomi yang kompleks saat ini," ujarnya.
Meski demikian, menurutnya sejak Presiden Donald Trump mengumumkan tarif setidaknya 10% untuk barang-barang dari sekitar 90 negara. Dampaknya berlangsung cepat. Pada tanggal 3 April, pasar saham utama—Dow, S&P 500, dan Nasdaq—mulai anjlok.
Dalam beberapa hari, kemerosotan tersebut berkembang menjadi apa yang sekarang disebut sebagai kejatuhan pasar saham 2025. Pada tanggal 4 April, Dow Jones Industrial Average turun lebih dari 2.200 poin, yang memicu dampak di seluruh Eropa, Amerika Latin, dan Asia. Tujuan awalnya mungkin untuk meningkatkan pendapatan tarif, tetapi hasilnya adalah kerugian lebih dari USD6 triliun dalam nilai pasar saham AS. Tarif ini telah merusak perjanjian dan mekanisme perdagangan yang ada—terutama Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang didirikan untuk mengatur dan memfasilitasi tarif global.
Pemberlakuan tarif sepihak oleh Amerika Serikat telah menempatkan kredibilitas WTO di bawah tekanan serius, menimbulkan keraguan atas efektivitas sistem perdagangan saat ini dan berkontribusi pada peningkatan volatilitas pasar. Pasar modal Tiongkok juga diuji selama periode kepanikan ini. Pada tanggal 7 April, Indeks Komposit Shanghai dan Indeks Komposit Shenzhen turun tajam sebelum pulih sedikit pada hari berikutnya.
Pemulihan ini sebagian didorong oleh perusahaan milik negara yang meningkatkan kepemilikan saham mereka, bersama dengan dukungan likuiditas dari Bank Rakyat Tiongkok. Indonesia terisolasi sementara karena penutupan pasar liburan Idul Fitri. IDX Composite ditutup pada 27 Maret di level 6.463 dan baru dibuka kembali pada 8 April di level 5.912—menandai penurunan 8%. Sementara pasar pulih ke level 6.269 pada 11 April, tetapi kekhawatiran atas volatilitas yang berkelanjutan tetap ada.
Indonesia dan AS membukukan surplus perdagangan sebesar USD17,9 miliar, sebagian besar menguntungkan Indonesia. Surplus tersebut menjadi titik pertikaian di Washington, yang mengakibatkan tarif sebesar 32% dikenakan pada barang-barang Indonesia—meskipun ada Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) tahun 1996 antara kedua negara.
Dalam Laporan Estimasi Perdagangan Nasional 2024 yang dikeluarkan oleh Perwakilan Dagang AS, beberapa poin penting diangkat mengenai bagaimana Indonesia mengatur pasar perdagangannya—untuk perdagangan bilateral AS-Indonesia. Area yang menjadi perhatian termasuk kebijakan yang berkaitan dengan impor, hambatan teknis untuk perdagangan, pengadaan pemerintah, perlindungan kekayaan intelektual, hambatan layanan, perdagangan digital, pembatasan investasi, dan subsidi.
Salah satu contoh dalam kategori hambatan layanan adalah mandat Bank Indonesia yang mengharuskan kartu kredit pemerintah diproses melalui Gerbang Pembayaran Nasional, bersama dengan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah. Sistem global saat ini tidak membedakan antara kartu kredit pemerintah dan konsumen, sehingga menimbulkan gesekan dalam transaksi layanan lintas batas.
Pada tanggal 9 April, Presiden Trump mengumumkan penangguhan tarif 'timbal balik' selama 90 hari, tetapi tidak memberikan jaminan bahwa tarif tersebut akan dicabut secara permanen. Jika diberlakukan sesuai rencana pada bulan Juli, tarif tersebut dapat mengurangi belanja konsumen AS, yang pada akhirnya akan menyusutkan pendapatan ekspor dan surplus perdagangan Indonesia.
Dengan mempertimbangkan hal ini, jumlah dolar AS yang beredar di Indonesia akan menurun, sehingga menekan rupiah Indonesia.
Penurunan dolar ekspor berarti berkurangnya akses ke mata uang AS—sama seperti Indonesia yang menghadapi pembayaran pinjaman luar negeri yang signifikan. Kombinasi tersebut dapat menekan rupiah, yang menurut para analis dapat mencapai Rp17.000 pada pertengahan tahun dan mungkin Rp18.000 pada akhir tahun 2025.
Faktor kunci lainnya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2025. Belanja pemerintah telah menurun, sementara investasi tetap optimis dengan hati-hati setelah peluncuran Danantara. Namun, kemungkinan penurunan ekspor neto dapat menguji ketahanan ekonomi Indonesia.
(Feby Novalius)