Namun, alokasi ke pasar publik tidak berhenti di awal saja.
Menurutnya, porsi investasi di instrumen publik akan tetap ada secara permanen, meski proporsinya akan menurun atau menyeimbang seiring meningkatnya alokasi pada investasi langsung di proyek-proyek strategis.
“Ini sudah sangat umum di dunia SWF. Norges, GIC, Temasek, semuanya tetap mempertahankan sebagian portofolio di public markets sebagai jangkar likuiditas dan diversifikasi risiko,” jelasnya.
Langkah Danantara juga sejalan dengan praktik lembaga sejenis di dunia.
“Temasek di Singapura, Kuwait Investment Authority, hingga Abu Dhabi Investment Authority juga memulai dengan investasi publik seperti obligasi dan saham sebelum masuk ke proyek sektor riil,” ungkapnya.
Dia menambahkan tapi tidak semua SWF memiliki fokus yang sama. Ada yang lebih berorientasi pada pelestarian modal, ada pula yang menekankan pembiayaan pertumbuhan nasional.
Dengan kata lain, pembelian SBN bukan penyimpangan, tetapi bagian dari tahapan normal SWF membangun portofolio dan tata kelola investasi jangka panjang.
Menurutnya, publik sering keliru mengira dana besar bisa langsung ditanamkan ke proyek.
“Membangun PLTA saja bisa butuh enam tahun konstruksi dan sepuluh tahun untuk impas. Kalau seluruh dana langsung dikucurkan, itu justru berisiko tinggi,” ujarnya.
Selama masa transisi ini, menempatkan dana di SBN berarti dua hal: likuiditas tetap terjaga, dan uang negara tetap berputar di sistem keuangan nasional.
Ke depan, komposisi antara public investment dan private investment akan makin seimbang, mengikuti arah Strategic Asset Allocation (SAA) yang sudah disusun Danantara.
“Public market tetap penting, tapi porsinya akan makin proporsional ketika pipeline proyek strategis mulai jalan,” katanya.
Menurutnya, isu sekuritisasi dan penggunaan aset sebagai jaminan untuk pembiayaan lanjutan adalah topik yang lebih teknikal, dengan pendekatan dan kanal komunikasi berbeda.
“Hal-hal seperti itu butuh pembahasan tersendiri, karena sifatnya teknis dan melibatkan aspek prudensial. Tapi secara prinsip, semua dilakukan dalam kerangka tata kelola yang hati-hati,” jelasnya.
Dia menekankan kritik publik terhadap Danantara seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan literasi soal peran dan mekanisme kerja SWF.
“Sovereign wealth fund itu bukan lembaga yang mencari untung instan. Mereka menjaga nilai aset negara lintas generasi,” katanya.
Mandat Danantara tetap membiayai industrialisasi dan memperkuat kemandirian ekonomi.
“Tapi untuk sampai ke sana, perlu waktu dan proses yang jelas. Dan semua itu sedang dibangun sekarang,” pungkasnya.
(Taufik Fajar)