3 Fakta Banjir dan Longsor Sumatera karena Banyak Pohon Hilang, Waspada Mafia Tanah

Dani Jumadil Akhir, Jurnalis
Sabtu 13 Desember 2025 10:39 WIB
3 Fakta Banjir dan Longsor Sumatera karena Banyak Pohon Hilang, Waspada Mafia Tanah (Foto: BNPB)
Share :

JAKARTA - Penyebab bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 dikarenakan banyak pohon yang hilang. Sebab, bencana di Sumatera bukan hanya karena faktor cuaca semata.

Fakta ini diungkapkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid. Banyak pohon yang hilang dikarenakan alih fungsi hutan menjadi pertambangan hingga perkebunan sawit.

Tercatat, selama 1990-2024, hilangnya hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat rata-rata 36.305 hektar per tahun. Jika dikonversikan per hari, ditemukan angka sekitar 99,46 hektar hilang per hari.

Bahkan, kini sudah ada empat izin perusahaan yang dibekukan sementara yang diduga sebagai penyebab banjir dan longsor di Sumatera.

Berikut ini Okezone rangkum fakta-fakta bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dikarenakan banyak pohon yang hilang, Jakarta, Sabtu (13/12/2025).

1. Menteri ATR Sebut Banyak Pohon Hilang

Nusron menegaskan bencana tersebut harus menjadi titik evaluasi serius bagi pemerintah untuk memperbaiki tata ruang agar kejadian serupa tidak terus berulang.

"Apa sih problem-nya banjir ini di Sumatera? Adalah debit air yang banyak tidak ada penyangga serapan. Kenapa? Karena penyangga serapannya dulunya adalah tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon. Pohonnya hilang," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Senin (8/12/2025).

 

2. Revisi Tata Ruang, Pohon Jadi Resapan Air

Nusron menilai bahwa revisi tata ruang merupakan kebijakan mendesak yang perlu segera ditempuh setelah rangkaian banjir besar tersebut. Menurutnya, setiap krisis harus ditutup dengan keputusan yang lebih baik, dan dalam konteks Sumatera, keputusan itu adalah mengembalikan fungsi kawasan yang semestinya menjadi ruang hijau.

"Terus gimana caranya (mengatasi banjir di Sumatera dan Aceh)? Kembalikan yang dulunya itu ruang untuk pohon yang sekarang diganti menjadi ruang untuk lainnya. Kembalikan ruang itu untuk pohon supaya serapan airnya terjaga," lanjutnya.

Nusron menambahkan bahwa kondisi tersebut menunjukkan betapa pentingnya menjaga kawasan hijau sebagai penyangga alami. Dia menegaskan perlunya mengembalikan ruang yang saat ini berubah fungsi menjadi area lain untuk kembali ditanami pohon, guna memulihkan daya serap air tanah.

Pemerintah, lanjutnya, akan melakukan evaluasi menyeluruh atas pola pemanfaatan ruang di Sumatera sebagai dasar penyusunan kebijakan tata ruang yang lebih adaptif terhadap risiko bencana.

3. Waspada Mafia Tanah

Di sisi lain, Nusron juga menyoroti adanya pergerakan mafia tanah yang memanfaatkan situasi pasca bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh dan Sumatera.

Nusron menjelaskan, pasca bencana praktis banyak tanah-tanah musnah. Lahan sawah tertimbun longsoran maupun aset tanah warga yang sudah tidak berbentuk akibat bencana yang terjadi. Titik ini rentan menjadi ruang bagi oknum mafia tanah untuk mensertifikatkan ulang tanah-tanah musnah tersebut.

Nusron mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima sementara, ada sekitar 65 ribu lahan sawah yang tertimbun lumpur, sehingga akan membuat patok-patok atau batas tanah yang sebelumnya ada menjadi terkubur.

"Jadi saya dapat informasi juga, ada 65 ribu lahan sawah yang terkena lumpur, jadi ada potensi sawah itu musnah. Kalau sawah itu musnah, maka dipastikan akan ada pemain-pemain mafia yang mengklaim, pasti batas-batas akan hilang," kata Nusron saat ditemui usai acara Rakernas Kementerian ATR/BPN di Jakarta, Senin (8/12/2025)

Namun demikian, Nusron mengatakan kalau tanah masyarakat itu sudah disertifikatkan, maka potensi diserobot oleh mafia tanah menjadi lebih kecil. Sebab Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat sudah pasti memiliki catatan tanah-tanah yang terdaftar.

Yang menjadi persoalan ketika tanah tersebut tidak memiliki dokumen kepemilikan resmi. Apalagi jika dokumen kepemilikan tanah itu terbit sebelum tahun 1997, maka akan menyulitkan BPN untuk mendapatkan data kepemilikan tanah.

"Kalau kebetulan mereka sudah disertifikatkan, aman, karena masih ada tapal batas. Jadi ada data di kita. Tapi yang belum didaftarkan ini yang agak susah," kata Nusron.

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya