JAKARTA - Pemerintah memfinalisasi kebijakan pengenaan bea keluar (BK) batu bara yang diproyeksikan mampu meningkatkan penerimaan negara hingga Rp24-25 triliun per tahun. Kebijakan ini ditargetkan mulai berlaku Januari 2026.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, kebijakan bea keluar batu bara sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan bahwa sumber daya alam harus memberikan manfaat optimal bagi negara dan masyarakat. Menurut Febrio, proses penetapan kebijakan saat ini masih berjalan dan pemerintah menargetkan implementasi secepat mungkin agar dampaknya terhadap penerimaan negara bisa dirasakan mulai 2026.
Analyst NEXT Indonesia Center, Sandy Pramuji menilai rencana pengenaan kembali bea ekspor batu bara pada tahun 2026 bisa menjadi langkah strategis yang bermanfaat ganda. Instrumen ini tidak hanya berfungsi memperkuat basis penerimaan negara untuk membiayai kebutuhan fiskal, tetapi juga menjadi mekanisme disiplin fiskal dan tata kelola perdagangan.
“Bea ekspor batu bara akan memaksa terjadinya sinkronisasi data dan menjadi alat cross-check yang ketat antara volume produksi, penjualan, dan ekspor guna menutup celah manipulasi nilai di masa depan,” kata dia, Selasa (30/12/2025).
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperkuat integrasi data produksi serta ekspor lintas kementerian/lembaga, termasuk penyelarasan pencatatan antara Kementerian ESDM, BPS, Bea Cukai, dan sistem perdagangan internasional.
“Jika tidak dibenahi secara menyeluruh, praktik manipulasi data perdagangan atau trade misinvoicing akan terus menjadi momok dalam ekspor batu bara Indonesia yang akan menggerus penerimaan negara serta merusak kredibilitas data perdagangan,” ungkap Sandy.